Senin, 04 April 2011

Siapakah Sastrawan Kalsel ?

oleh Sainul Hermawan
Catatan untuk Tajuddin Noor Ganie
Sebagai publik sastra di Kalimantan Selatan kita beruntung memiliki Maman S. Tawie dan Tajuddin Noor Ganie. Keduanya saya takzimi dengan panggilan Pak. Kedua aktor sastra ini memiliki keajegan yang tak tertandingi dalam mencurahkan perhatian secara sukarela untuk mendokumentasikan dan mencatat perkembangan sastra di Kalimantan Selatan, terutama karya yang dipublikasikan di media cetak di Kalsel atau dalam bentuk buku yang dipublikaksikan di institusi sastra di Kalsel.

Pada tanggal 26 September dan 03 Oktober 2010, Pak Tajuddin mempublikasikan catatannya, “Antologi Biografi 643 Sastrawan Kalsel” di Radar Banjarmasin . Jumlah yang sangat fantastis. Tapi jumlah yang berbeda muncul kemudian, semacam meralat rilis yang pertama. Tulisan tersebut sangat penting bagi mereka yang berminat meneliti sejarah sastra yang ada di Kalimantan Selatan. Tetapi dalam proses pembacaan, saya seperti diseret paksa oleh beberapa pernyataan dan konsep yang perlu didiskusikan lebih jauh.

Tulisan tersebut seperti jalan pembuka untuk mendiskusikan kembali sejarah tradisi sastra di Kalimantan Selatan yang sejauh ini masih simpang siur. Perhitungan yang dilakukan penulis antologi perlu kita perhitungkan kembali karena hitungan yang tepat dapat menjadi acuan bagi kajian yang lebih serius. Jumlah itu secara korespondensial memang benar tetapi apakah juga benar secara paradigmatik dan koherensial?

Analogi yang bisa kita pakai untuk memahami jumlah sebanyak itu adalah dengan menanyakan apakah setiap orang yang pernah menulis sebuah karya sastra adalah sastrawan? Secara analogik kita bisa mengaitkan dengan logika pertanyaan yang sama, apakah setiap manusia pasti manusiawi, orang yang punya rohani adalah rohaniawan, orang yang belajar sejarah adalah sejarawan, pemimpin negara pasti negarawan, orang yang belajar ilmu agama pasti ulama?

Berdasarkan pengalaman manusia, sastrawan tentulah bukan setiap orang yang pernah menulis karya sastra. Karya sastra bisa ditulis oleh penulis dengan latar belakang apapun, tetapi sastrawan adalah kualitas tersendiri yang diberikan oleh masyarakat sastra suatu wilayah kepada penulis yang dipandang layak menyandangnya, misalnya melalui apresiasi pembaca yang luas, penghargaan komunitas, atau penghargaan pemerintah. Oleh karena itu, penjelasan tentang pengkategorian yang jelas sangat diperlukan.

Di samping persoalan itu, beberapa masalah ada dalam pernyataan tulisan itu. Pertama, perhatikan pernyataan baris pertama: Sastrawan Kalsel adalah sastrawan yang lahir di Kalsel atau pernah tinggal di Kalsel. Hanya itu, tidak ada kriteria lain yang bersifat eksklusif secara sosial politik. Apakah kriteria ini tidak bersifat eksklusif secara sosial politik? Pikirkan kembali, apakah kelahiran bukan kategori sosial? Mari lihat KTP kita, mengapa kita ditanya tempat dan tanggal lahir? Tidak adakah maksud politik identitas? Bukankah identitas adalah milik pribadi kita? Mengapa pemerintah atau negara ingin mengetahuinya? Tentu di balik semua ini ada misi politik yang berkaitan dengan konstruksi kebijakan. Tempat dan waktu ternyata juga kategori sosial dan politik yang penting untuk menetapkan kebijakan-kebijakan sosial politik yang bisa inklusif dan juga bisa eksklusif.

Kedua, pikirkan pula kategori ini: Sastrawan Kalsel adalah siapa saja yang ketika tinggal di Kalsel dikenal luas sebagai penulis karya sastra bergenre modern dalam bahasa Indonesia di berbagai koran/majalah dan buku-buku sastra. Kata kuncinya adalah penulis, sastra, modern, dikenal luas. Frase siapa saja sangat membingungkan karena pada rangkaian pengertian selanjutnya, pengertian ini dibatasi dengan frase dikenal luas, modern, dan bahasa. Pemahaman ini pun bisa berdampak pada munculnya makna baru bahwa karya sastra yang tidak modern, yang tidak berbahasa Indonesia, bukan karya sastra sastrawan Kalimantan Selatan. Kalau pengertian ini yang dipakai maka para pujangga penulis syair Banjar bukanlah sastrawan Kalsel meskipun mereka telah menulis dan mungkin pula dikenal luas dan mendapatkan penghargaan pada zamannya. Pun bisa juga karya mereka ‘modern’ pada zamannya. Bukankah makna “modern” sangat relatif?

Penyataan tersebut sangat berbeda dengan pengertian yang ditawarkan oleh Wikipedia. Ensiklopedia berbasis internet itu mendefiniskan sastrawan seperti ini: Sastrawan adalah istilah bagi orang-orang yang menghasilkan karya sastra seperti novel, puisi, sajak, naskah sandiwara dan lain-lain. Oleh karena itu, penyair, penulis, pujangga, serta profesi-profesi terkait lainnya bisa dikelompokkan sebagai sastrawan juga.[1] Jika demikian, Gusti Ali Basyah Barabai penulis Syair Brahma Syahdan, Gusti Ali Basyah Barabai penulis Syair Madi Kencana, Anang Mayur Babirik penulis Syair Teja Dewa, Anang Mayur Babirik penulis Syair Nagawati, Anang Ismail Kandangan, penulis Syair Ranggandis, Anang Ismail Kandangan penulis Syair Siti Zubaidah, Kiai Mas Dipura Martapura penulis Syair Tajul Muluk, Gusti Zainal Marabahan penulis Syair Nur Muhammad, Mufti Haji Abdurrahman Siddik Al-Banjary penulis Syair Ibarat adalah para sastrawan Kalsel juga.[2] Mereka dikenal luas. Apakah tak ada modernitas dalam karya mereka? Siapa yang telah meneliti kadar modernitasnya?

Selain itu, ada persoalan terminologis dalam konsep dikenal luas. Seberapa luas? Bagaimana memastikan bahwa sastra itu telah dikenal luas? Pernyataan ini sangat sulit diklarifikasi secara empiris. Apakah penulis puisi yang memanfaatkan internet sebagai media publikasi pasti dikenal luas? Apakah internet wilayah yang sepenuhnya bebas? Apakah penulis yang memublikasikan di koran lokal dan atau nasional pasti dikenal luas? Karena luas adalah kata sifat, kata itu tetap perlu diberi batas untuk memastikan apa yang dimaksud dengan luas itu dengan kajian perbandingan yang memadai.

Ketiga, konsep tentang sastra yang bergenre modern? Apakah modernitas sastra Kalsel yang dimaksud telah diteliti? Atau malah jangan-jangan muatan sastra Kalsel sebenarnya masih belum beranjak dari tradisionalitas, kalau hal itu bisa didualismekan. Apakah yang modern sebagaimana yang dimaksudnya memang tidak mengandung dualitas struktur? Bagi mereka yang ingin meneliti sastra, persoalan di atas adalah ranah penelitian yang belum tersentuh. Kajian sastra terlalu banyak yang masik berkutat pada persoalan intrinsik yang tak dapat diharapkan kontribusinya bagi penetapan estetika sastra di wilayah kita ini.

Keempat, pertanyaan-pertanyaan berseliweran setelah itu: Apakah pengertian karya sastra abad ke-17 masih sepenuhnya bisa dipakai saat ini? Memakainya tentu juga akan berimplikasi pada penentuan termasuk kategori sastra dalam ruang dan waktu Kalsel saat ini dan masa lalu. Bukankah teori berubah mengikuti perkembangan sejarah masyarakat dan masyarakat juga punya power untuk menganggap dan tidak menganggap seseorang sebagai sastrawan? Apakah Merayu Sukma yang telah menasional laik disebut sebagai sastrawan Kalimantan Selatan? Siapa yang menganggap? Anggapan sejarawan sastra, publik sastra, atau pemerintah? Jangan-jangan dia telah termasuk sastrawan nasional? Saya kira perlu penjelasan tentang hal ini. Konsep-konsep ini saya kira perlu diterangjelaskan terlebih dahulu.

Kelima, dinyatakan bahwa: Tidak ada pembatasan dalam hal kurun waktu kelahirannya, tempat kelahiran, latar belakang suku bangsa, agama, ras, golongan, asal daerah, dan tempat tinggalnya setelah dikenal luas sebagai sastrawan. Peryataan ini bernuasa dekonstruktif, dalam pengertian mengadakan sekaligus meniadakan sastrawan Kalsel. Apa yang disebut sastrawan Kalsel oleh antologi tersebut sebenarnya juga bukan sastrawan Kalsel, karena mereka bisa berada dalam kategori dari wilayah di luar Kalsel, misalnya Indonesia, dunia, atau daerah lain.

Inilah yang saya sebut bahwa catatan Pak Tajuddin adalah pintu pembuka untuk memasuki dunia kesastrawanan di Kalsel yang sangat kaya dan memiliki tradisi sastra sangat tua melampaui tahun yang disebutkan dalam tulisannya. Ini wilayah tambang kebudayaan yang sampai saat ini belum digali oleh para generasi pewarisnya. Penelitian sastra di dua perguruan tinggi masih berkutat pada persoalan sastra modern, sementara sastra klasik di Kalsel nyaris tak tersentuh. Kondisi ini tentu mengingatkan kita pada sajak WS Rendra yang terkenal, “Seonggok Jagung di Kamar”: ... Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Tapi saya berharap tulisan ini juga salah dan saya terbuka untuk dicerahkan kapan saja.


Radar Banjarmasin, 10 Oktober 2010



Tidak ada komentar: