Selasa, 19 April 2011

MEMELIHARA EKOLOGI SASTRA

Oleh : Dimas Arika Mihardja

Rumah tangga sastra Indonesia yang dihuni oleh sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, dan masyarakat pembaca memberikan gambaran adanya keberagaman. Keberagaman itu terwujud baik pada tataran capaian estetis, kreativitas, persepsi, visi, dan misi. Keberagaman itu merupakan aset yang tiada terkira nilainya jika dihubungkan dengan “Bhineka Tunggal Ika”. Keberagaman itu dalam konteks keindonesiaan perlu mendapatkan ruang ekspresi seluas-luasnya untuk capaian estetis sastra Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang.
Pada satu masa, sejumlah besar sastrawan menampilkan karya-karya yang sarat dengan subkultur, dengan akar budaya, warna budaya daerah masing-masing. Berbagai kultur lokal dan tradisi digali, diolah dan dijadikan dasar untuk pengucapan karya-karya mereka.

Karya sastra yang dihasilkan sastrawan yang mengedepankan warna-warni budaya lokal ini memberi kontribusi positif dalam sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia. Atas dasar keberagaman budaya daerah, dalam perspektif sejarah sastra Indonesia pernah dihasilkan karya-karya masterpeace seperti “Ronggeng Dukuh Paruk” (Novel Ahmad Tohari), “Pengakuan Pariyem” (Prosa Lirik Linus Suryadi AG), “Celurit Emas” (D. Zawawi Imron), “Bawuk” (Umar Kayam), “O, Amuk, Kapak” (antologi puisi Sutardji Calzoum Bachri), “Godlob”, “Adam Makrifat”, dan “Berhala” (Kumpulan cerpen Danarto), “Robohnya Surau Kami” dan “Bertanya Kerbau pada Pedati” (Kumpulan cerpen A.A. Navis), “Bako” (novel Darman Moenir), dan seterusnya . Karya-karya yang digali dari kekayaan budaya lokal seperti itu akhir-akhir ini mengalami pasang surut.

Keberagaman corak budaya daerah perlu diberikan ruang yang leluasa untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur yang ada di Indonesia akan memberikan rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (“Bhineka Tunggal Ika”). Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi.

Dalam perkembangan sastra pernah muncul humanisme universal, sastra kontekstual, sastra (dominasi) pusat (Jakarta), sastra pedalaman, sastra dekaden, sastra independen, sastra arus bawah dan seterusnya dan seterusnya. Hal ini wajar lantaran sastrawan memiliki progres, visi dan misi dalam berkarya. Hal yang tidak wajar apabila perbedaan pandangan/aliran/isme dll memunculkan konflik berkepanjangan. Humanissme universal seperti diteriakkan oleh Chairil Anwar berakibat hilangnya identitas kebangsaan. Setelah humanisme universal mulai memudar pamornya, tahun 1960-an meruak hubungan mesra antara sastra dan politik. Fungsi sastra dan fungsi politik acap dicampuradukkan sehingga terjadi kekacauan. Lalu muncul tawaran sastra kontekstual (sastra terlibat) yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Kemunculan sastra kontekstual ini menomorduakan aspek keindahan dalam ciptaan sehingga pada akhirnya kehilangan gaungnya. Tahun 1990-an muncul tawaran sastra pedalaman dalam denyut kehidupan sastra. Tawaran ini kurang mendapatkan respon dan lenyap begitu saja. Setelah itu muncul dekadensi dan independensi sastra, tetapi belum jelas benar seperti apa sosoknya.

Perkembangan karya sastra Indonesia, sepeninggal paus sastra H.B. Jassin, tidak diiringi oleh kinerja kritik sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau. Langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra membuat ekologi sastra tidak harmonis. Idealnya, kehidupan sastra menunjukkan ekologi sastra yang sehat, beragam, harmonis, dan dinamis. Karya sastra yang diterbitkan menjadi “yatim piatu” lantaran tidak tersentuh oleh kinerja kritik sastra. Akibatnya, karya sastra semakin jauh dari jangkauan masyarakat apresian. Kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi karya sastra juga rendah.

Akhir-akhir ini tumbuh secara bergairah penerbitan buku, yang sebagian besar secara indie. Penerbit-penerbit juga terus menerbitkan aneka genre sastra. Aneka penerbitan ini tentunya perlu disambut dengan gairah pula. Tradisi minat baca masyarakat hendaklah perlu pula selalu diagendakan sebagai semacam tradisi. Ekologi sastra yang dihuni oleh para kreator, pembaca umum, dan kritisi penting dijaga dan dipelihara. Dalam konteks ini hendaklah digelorakan gairah mencinta di antara kreator, apresiator, dan kritisi sehingga susastra Indonesia (susastra berbahasa Indonesia dan susastra di Indonesia--yang berbahasa daerah) akan cerah bergairah.

Demikian, gambaran global yang selalu menjadi agenda kerja siapapun yang memilih dunia sastra sebagai alternatif pilihan untuk menyempurnakan martabat kemanusiaan. Semoga, kita secara bersama-sama senantiasa bisa saling bahu menyangga, menjaga, dan memelihara ekologi sastra. Salam sastra.

Senin, 04 April 2011

Kurangnya Guru Mata Pelajaran Seni Budaya Sekolah Menengah Di Kalsel

Oleh : Arsyad Indradi

Salah satu acara pada Aruh Sastra VII se Kalsel di Tanjung Kab.Tabalong,26-28 Nov..2010 adalah seminar Seni Budaya Kalsel. Banyak tanggapan dan pertanyaan yang dilontarkan peserta seminar antara lain kurangnya guru Mata Pelajaran Seni Budaya sekolah menengah di Kalsel. Kepala Dinas Porkebpar Prov.Kasel, salah satu nara sumber, menjelaskan bahwa prioritas mata pelajaran ada tiga yakni Unggulan,sedang dan pilihan,”mungkin” pendidikan di Kalsel ini, mata pelajaran seni budaya masuk dalam urutan “pilihan”.

Ada pertanyaan yang sangat menarik peserta dari HSU, mengapa guru Mata Pelajaran Seni Budaya Jurusan Seni Tari dan Seni Teater diangkat dari (orang) Jawa ? Sehingga dia gelagapan mengajar karena seharusnya yang diajarkan adalah Seni Tari Daerah Banjar bukan “Tari Jawa”, bukan “Ketopra atau Ludruk” tapi Teater tradisional Kalsel seperti “Mamanda”, ini sesuai dengan Kurikulum yang berlaku sekarang. Tak masalah kalau guru putra daerah sekolah ke Jawa tapi telah dibekali Seni Tari Banjar dan Teater tradisional Banjar.
Kemudian juga salah satu nara sumber,Bapak H.Djantera Kawi menjawab pertanyaan peserta yang berkaitan minimnya pengangkatan guru mata pelajaran seni budaya dengan Perda Prov.Kalsel No.6 Thn.2009 tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah BAB IV pasal 6 ayat (1) a),b) dan c). Beliau menjelaskan (bernada curhat) bahwa Perda ini belum tersosialisasikan secara luas dan masih adanya otorisasi dari pemerintah daerah.
Mendengar paparan dari dua nara sumber di atas sungguh rasional dan dalam kenyataannya inilah nasib pendidikan di Kalsel. Sejak dulu sampai sekarang sekolah menengah di Kalsel sangat sedikit memiliki guru mata pelajaran seni budaya, sehingga mata pelajaran Seni Budaya banyak diberikan kepada guru yang bukan faknya. Jadi wajar jika guru tersebut sering mendapat kesulitan dalam mengajarkan materi Seni Budaya (Seni Musik, Seni Rupa,Seni Tari dan Seni Teater) apa lagi jarang sekali ada penataran, workshop atau pelatihan.. Dan ironisnya banyak sekolah yang berpandangan bahwa mata pelajaran seni budaya itu tidak penting, yang penting adalah mata pelajaran yang ada di Ujian Nasional.
Menilik formasi guru mata pelajaran untuk penerimaan CPNS pada tahun 2010 ini sangat sedikit sekali. Dari 13 Kabupaten/Kota di Kalsel hanya HSU; 4 formasi S1 Pend. Kesenian Jur.Seni Musik/S1 Kesenian Jur.Seni Musik dan A-IV, 2 formasi untuk S1 Pend.Jur.Seni Tari/S1 Kesenian Jur.Seni Tari dan A-IV. HSS; 8 formasi untuk S1 Pend.Seni, BJB;12 formasi untuk S1 Pend.Seni Kerajinan dan BJM ; 9 formasi untuk S1 Pend.Seni/S1 Seni dan A-IV (B.Post,6/11/2010).

Menanggapi berita Banjarmasin Post,23 Nov.2010 : 45 Formasi Tanpa Pelamar di Banjarbaru, antara lain formasi tanpa pelamar itu adalah guru kesenian SMP dan guru kesenian SMK. Saya ikut prihatin mungkin ini tidak ada koordinasi antara BKD Kota Banjarbaru dengan Dinas Pendidikan Kota Banjarbaru untuk menentukan formasi tersebut. Hemat saya bahwa Pendidikan Seni Kerajinan itu termasuk kurikulum 1994 yang lebih dikenal mata pelajatan KTK atau Kertakes (Kerjinan Tangan dan Kesenian), secara bertahap masih digunakan pada kurikulum 2004 (KBK) sampai batas terakhir tahun ajaran 2008/2009 ( dalam tahap uji coba Kurikulum KTSP). Pada tahun ajaran 2009/2010 dan seterusnya diberlakukan Kurikulum KTSP yang komponennya Mata Pelajaran Seni Budaya (Seni Musik, Seni Rupa, Seni Tari dan Seni Teater)
Kebijakan KTSP ini berlandaskan UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur KTSP, pasal 1,18,32, 35, 36 ,37,38 dan PPRI No.19 Tahun 2005 pasal 1,5,6,7,8,10,11,13,14,16,17,18 dan 20. Kebijakan Pengembangan Kurikulum ini berkaitan dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan dalam Permen 22, Permen 23 dan Permen 24.

Jadi inilah permasalahannya mengapa Kota Banjarbaru tanpa pelamar. Sesungguhnya bukan tanpa pelamar, banyak putra Banjarbaru ditolak lamarannya dengan alasan tidak sesuai dengan ”Pendidikan Seni Kerajinan”. Padahal mereka itu jauh-jauh sekolah ke Institut Seni Indonesia (ISI)Yogyakarta dan Surakarta ada yang jurusan S1 Seni Rupa dan ada jurusan S1 Seni Tari.+ A- IV.
Kedepannya diharapkan Pemerintah daerah (kabupaten/kota) selayaknya memperhatikan formasi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan kurikulum terbaru dalam menentukan penerimaan guru mata pelajaran. Dalam hal ini, untuk tingkat sekolah menengah, yang dibutuhkan adalah formasi guru mata pelajaran seni budaya.

Sesungguhnya Mata Pelajaran Seni Budaya itu sama pentingnya dengan pelajaran akademis, eksakta atau pelajaran lainnya bukan mata pelajaran ”pilihan”.. Sebab Pendidikan seni budaya di sekolah bertujuan agar siswa mendapatkan pengalaman baik dalam berkarya, menciptakan konsep karya, berestetika, membentuk karakter menjadi manusia yang berbudi luhur, memiliki apresiasi dan rasa seni di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, guru mata pelajaran seni budaya seharusnya adalah orang yang sesuai dengan jurusannya, dalam hal ini sarjana seni budaya (seni musik, seni tari, seni rupa, dan seni teater).***


Banjarbaru,26 Nop.2010

Nasib Intan Trisakti

oleh TumanggungArga Sandipa BatanggaAmas

(Judul asli : Tragedi Intan Trisakti Oleh : Tajuddin Noor Ganie, M.Pd (Mantan Pedulang Intan Th.1975-1979) Barito Post, 16, 18, & 19 Oktober 2010)

Intan Trisakti adalah nama intan sebesar 166,75 karat yang ditemukan oleh sekelompok pedulang intan di bawah pimpinan H. Madslam dkk (24 orang) di lokasi pendulangan intan Sungai Tiung Kec. Cempaka Kab. Banjar (Kalimantan Selatan) pada tanggal 26 Agustus 1965. Nama intan Trisakti diberikan oleh Presiden Soekarno.
Menurut versi piagam yang diberikan oleh Menteri Pertambangan RI (Armunanto), Intan Trisakti tidak dijual oleh para penemunya tetapi dipersembahkan kepada Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno (Majalah Sarinah Jakarta). Atas jasa bakti persembahan itu permerintah berjanji akan memberikan balas jasa yang sepadan kepada H. Madslam dkk.
Balas jasa memang diberikan dalam bentuk ongkos naik haji untuk para penemu intan ditambah dengan sanak keluarganya, dan para pejabat yang terlibat. Jika dihitung secara keseluruhan, akumulasi uang balas jasa yang diberikan pemerintah kepada H. Madslam dkk ketika itu tercatat sebesar Rp. 3,5 juta. Padahal, konon menurut taksiran kasar, harga yang pantas untuk Intan Trisakti ketika itu adalah Rp. 10 triliun.
Minggu, 22 Agustus 1965, pukul 01.00-02,30 wita.
H. Madslam salah seorang pedulang intan di Kec. Cempaka bermimpi menggiring ratusan ekor kerbau menuju ke sebuah bukit. Begitu kerbau-kerbau itu sampai ke tempat yang dituju, H. Madslam terbangun dari tidurnya. H. Madslam ketika itu berstatus sebagai kepala kelompok pendulangan intan yang berjumlah 22 orang. Mereka ketika itu sedang menggarap sebuah lubang pendulangan di lokasi pendulangan intan Cempaka.
Pada waktu yang sama, H. Sarimanis, anak buah H. Madslam bermimpi tubuhnya ditindih seseorang yang bertubuh tambun. Ia hampir kehabisan nafas. Untunglah pada saat yang kritis itu datang bantuan seseorang. Orang itu menolongnya membebaskan dari tindihan orang yang bertubuh gempal. Setelah itu, H. Sarimanis terbangun dari tidurnya.
H. Masykur bin H. Jerman, anak buah H. Madslam, bermimpi melihat sejumlah mayat yang berserakan di bibir mulut lubang pendulangan intan yang sedang mereka garap sejak beberapa hari yang lalu.
H. Tahir, anak buah H. Madslam, bermimpi melihat dua andaru (meteor). Satu andaru jatuh ke dalam lubang pendulangan, dan andaru yang satunya lagi jatuh ke atap rumah H. Madslam.
Seorang ulama warga kota Kec. Cempaka yang tidak bersedia menyebutkan namanya bermimpi melihat kota Cempaka dilanda banjir bandang.
Kamis, 26 Agustus 1965, pukul 11.00 wita
H. Mastiah, seorang pendulang intan anak buah H. Madslam, sedang mengerjakan tugasnya sebagai pengayak batu dulangan (piantakan, bahasa Banjar). Batu dulangan yang masih dilekati tanah liat itu dibersihkan dengan air. Tangannya yang terlatih mengaduk-aduk batu dulangan itu. Batu-batu kecil yang lolos dari lubang ayakannya langsung masuk ke dalam linggangan yang sengaja dipasang di bawahnya.
Setelah bersih, batu-batu besar yang tersisa di dalam ayakan dibolak-baliknya dengan hati-hati, sementara itu matanya menatap dengan cermat ke arah tumpukan batu bersih yang sedang dibolak-baliknya itu.
Ternyata tidak ada intan besar yang tersangkut di ayakan itu. H. Mastiah sempat kaget setengah mati karena ia melihat karena ia melihat ada seekor ular kecil berwarna ungu sedang melingkar di antara batu-batu dulangan yang sedang diperiksanya itu. Ia bisa saja menimpuk ular kecil itu dengan batu besar yang ada di tangannya. Tapi ia tidak melakukannya, karena hal itu termasuk pantangan besar bagi seorang pendulang intan. H. Mastiah juga tidak mengusir ular itu dengan kibasan tangan atau dengan bahasa isyarat hus..hus..hus,karena hal itu juga tabu dilakukan.
H. Mastiah akhirnya nekad menangkap ular itu, namun aneh bin ajaib begitu berada di dalam genggamannya ular itu tiba-tiba berubah wujud menjadi batu kecubung berwarna ungu. Ia tidak jadi melemparkannya sebagaimana yang sudah diniatkannya tadi. H. Mastiah kemudian menyerahkan batu kecubung berwarna ungu itu kepada Syukri teman sekerjanya yang kebetulan duduk berdampingan dengannya. Ketika itu Syukri juga bertugas sebagai seorang pengayak batu seperti halnya H. Mastiah.
“Galuh..!!” pekik Syukri begitu mengamati batu kecubung berwarna ungu itu. Galuh adalah kata ganti untuk menyebut intan.
Sesaat kemudian terjadilah kegaduhan kecil di lokasi pendulangan intan itu. Orang-orang yang ada di sana saling berebutan ingin melihat benda yang disebut-sebut Syukri sebagai galuh itu.
Pukul 12.10 wita
Warga desa Sungai Tiung Kec. Cemapaka gempar. Mereka berlarian dari arah kampung menuju ke lokasi pendulangan intan. Mereka tampaknya seperti berlomba ada cepat tiba di lokasi pendulangan intan.
Rupanya dalam tempo singkat berita penemuan sebutir batu besar berwarna ungu yang diduga intan itu sudah sampai ke segenap penjuru desa. Sementara itu, di lokasi pendulangan intan, orang-orang sedang ramai mengerumbungi H. Madslam yang tengah memegang sebutir bat berwarna ungu sebesar bola pimpong.
Di antara orang-orang yang sedang berkerubung itu ada yang mengatakannya bukan intan, tapi Cuma batu kecubung, tetapi banyak juga mereka yang haqqul yakin itu intan.
“ini galuh. Asli galuh. Yakin ini pasti galuh..!!”
“Bukan, ini bukan galuh. Ini Cuma batu kecubung..!!”
“Galuh..!!”
“Bukan..!!”
Tiba-tiba di antara mereka ada yang mencabut mandau dengan maksud membelah batu ungu itu menjadi dua. Jika belah bearti batu, jika tidak bearti intan.
Tapi, orang-orang serentak mencegahnya karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalahnya malah menimbulkan masalah.
“Sudah..sudah, bagaimana kalau kita semua sama-sama pergi ke rumah Pak Kades H. Anang Syachruni saja. Biar beliau yang memutuskan apakah benda ini intan atau Cuma batu kecubung”
“Akuuuurr..!!”
Mereka lalu berbondong-bondong meninggalkan lokasi pendulangan intan menuju ke rumah Pak Kades yang terletak di jantung kota Cempaka.
Pukul 14.00 Wita
Begitu rombongan H. Madslam dan kawan-kawan tiba di rumah H. Anang Syachruni, rumah Pak Kades itu langsung penuh sesak. Penduduk tidak hanya berdesak-desakan di dalam rumah tetapi juga di sekeliling bagian luar rumah. Rumah Pak Kades ketika itu seperti kapal yang tengah berada di tengah-tengah lautan manusia.
H. Anang Syachruni ternyata tidak dapat memastikan apakah batu ungu itu intan atau Cuma batu kecubung. Mereka kemudian bersepakat untuk membawa batu ungu itu ke hadapan Bupati Banjar H. Basri BA.
Pukul 17.00 wita
Setelah segala sesuatunya siap, mereka berangkat secara berombongan ke rumah dinas Bupati Banjar yang terletak di jantung kota Martapura.
Mereka yang berangkat antara lain : H. Madslam, H. Jinu, H. Hassan, H. Anang Syachruni, H. Syukur dan Sersan Rahmat (sebagai pengawal mereka).
Pukul 19.00 wita
Rombongan H. Madslam diterima langsung oleh Bupati Banjar H. Basri, BA. Begitu melihat batu ungu itu, Bupati Banjar kemudian menelepon anggota Panca Tunggal. Mereka diminta datang untuk menjadi saksi penemuan batu ungu yang sangat menakjubkan itu. Selain itu Bupati Banjar juga memanggil seorang ahl intan untuk memastikan apakah batu ungu itu intan atau Cuma batu kecubung.
Tidak lama kemudian, orang-orang yang dpanggil Bupati Banjar berdatangan satu persatu. Mereka adalah Kapten Inf. R. Soeparno (Komandan Kodim 1006 Martapura), AKBP Aridjas Syarif (Komandan Resort Kepolisian Banjar), Dahlan (Kepala Kejaksaan Negeri Martapura), Poedjastoeti (Ketua Front Nasional Banjar), dan H. Hasnan (Camat Banjarbaru), dan ahli intan.
Begitu tiba, ahli intan segera melakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat penguji intan yang dibawanya. Tidak lama kemudian ahli intan memastikan bahwa batu ungu itu adalah intan, bukan batu kecubung.
Mendengar penegasan itu, H. Madslam dan kawan-kawan segera mengucap syukur dan beberapa orang diantaranya langsung sujud syukur di kediaman dinas Bupati Banjar.
Kamis, 26 Agustus 1965
Pukul 21.00 wita
Tiba-tiba mereka yang berkumpul di rumah dinas Bupati Banjar dikejutkan oleh teriakan kebakaran. Ternyata, yang terbakar adalah Pasar Batuah, yakni pasar bertingkat duayang terletak persis di seberang jalan rumah dinas Bupati Banjar. Bupati Banjar memutuskan agar intan dititipkan di Kantor Resort Kepolisian Banjar, karena sangat riskan jika intan itu dibawa pulang kembali ke Cempaka pada malam hari itu juga. Salah-salah mereka akan dirampok orang ditengah jalan.
H. Madslam tidak setuju dengan keputusan Bupati Banjar. Mereka ingin membawa intan itu pulang kembali ke Cempaka pada malam itu juga. Mereka yakin tidak akan terjadi apa-apa di tengah jalan. Apalagi mereka ketika itu dikawal oleh anggota polisi (Sersan Rahmat).
Namun keputusan Bupati Banjar didukung oleh anggota Panca Tunggal lainnya. Tidak ada pilihan bagi H. Madslam dan kawan-kawan kecuali menitipkan intan itu di Kantor Resort Kepolisian Banjar.
Penitipan itu disertai dengan tanda terima yang ditandatangi oleh Bupati Banjar, Dandim, Danres Kepolisian Banjar, dan disaksikan oleh 6 orang saksi yang ikut membubuhkan tandatangannya. Pada kesempatan itu Danres Kepolisian Banjar berjanji akan membawa intan titipan itu ke Cempaka untuk diserahkan kembali kepada para pemiliknya yang dalam hal ini diwakili oleh H. Madslam pada 28 Agustus 1965.
Sabtu, 28 Agustus 1965
Pukul 07.00 wita
Warga kota Cempaka sudah berkumpul di alun-alun kota. Suasana kota Cempaka tampak hiruk pikuk oleh kehadiran warga kota yang berdatangan dari segenap pelosok kota. Mereka ingin menyaksikan peristiwa langka yang tak mungkin terulang lagi.
Hari itu, H. Madslam selaku wakil pemilik akan menerima kembali intan temuan mereka yang selama dua hari berturut-turut dititipkan di Kantor Resort Kepolisian Banjar di Martapura. Sesuai janji yang diucapkan Danres Kepolisian Banjar, intan itu akan diantarkan dan diserahkan langsung kepada H. Madslam di hadapan warga kota Cempaka.
Pukul 11.00 wita
Rombongan Danres Kepolisian Banjar tiba di alun-alun kota Cempaka. Mereka dielu-elukan oleh warga kota yang berkumpul di tempat itu. Danres Kepolisian Banjar kemudian memperlihatkan intan yang dipegangnya kepada warga kota Cempaka. Tapi, intan itu ternyata tidak diserahkan kembali kepada H. Madslam sesuai janji Danres Kepolisian Banjar.
Pada kesempatan itu diumumkan bahwa Presiden Soekarno telah memerintahkan agar intan segera dibawa ke Jakarta. Tiga orang telah ditunjuk untuk membawanya ke Jakarta, yakni Bupati Banjar, Danres Kepolisian Banjar, dan H. Madslam.
Pukul 12.00 wita
H. Madslam dan para penemu intan lainnya berunding untk merumuskan bagaimana caranya agar beberapa orang di antara mereka dapat ikut srta berangkat ke Jakarta.
Pukul 13.00 wita
Direktur Utama BPU Pertambun Jakarta mengirim surat kepada Panca Tunggal Kabupaten Banjar bahwa intan temuan H. Madslam dkk akan dibeli pemerintah. Harga belinya akan ditetapkan dengan setepat-tepatnya setelah pemerintah mendapatkan penjelasan yang diperlukan dari para ahli intan dari dalam dan luar negeri.
Surat itu dibawa langsung oleh Do’a Sulaiman selaku utusan BPU Pertambun Jakarta yang sengaja dikirim ke Banjarmasin dengan tugas khusus menjemput intan temuan H. Madslam dkk. Keberangkatannya ke Banjarmasin dikawal oleh satu tim polisi khusus.
Minggu, 29 Agustus 1965
Pukul 06.00 wita
H. Madslam, H. Hasnan, H. Anang Syachruni, dan H. Hasyim berangkat ke lapangan terbang Ulin Banjarbaru. Mereka ingin bergabung dengan rombongan Bupati Banjar, dan Danres Kepolisian Banjar yang akan berangkat ke Jakarta pada hari itu juga.
Pukul 10.00 wita
Ternyata kursi yang tersedia di pesawat terbang Garuda Indonesia Airways tujuan Jakarta sudah terisi penuh. Mendengar penjelasan itu H. Madslam jatuh pingsan. Situasi di lapangan terbang Ulin Banjarbaru menjadi mencekam karenanya.
Pada saat itulah pesawat terbang Garuda Indonesia Airways yang membawa rombongan Do’a Sulaiman tiba di lapangan terbang Ulin Banjarbaru. Kepada Bupati Banjar, Danres Kepolisian Banjar, dan H. Madslam dkk diberitahukan bahwa intan itu akan dibeli pemerintah pusat dengan harga yang pantas.
Penetapan harga yang pantas itu akan dilakukan pemerintah setelah mendengar penjelasan para ahli mengenai kualitas fisik intan dan perkiraan harga jualnya di pasaran internasional. Namun, sebelum kesepakatan harga tercapai, pemerintah akan segera memberikan uang persekot sebesar Rp. 200 juta.
Mendengar penjelasan Do’a Sulaiman itu, H. Madslam siuman. Pada saat itulah intan diserahkan kepada Do’a Sulaiman. Oleh Do’a Sulaiman intan itu dititipkan untuk disimpan di dalam tas milik isteri Irjenpol Soekahar (Panglima Daerah Kepolisian Kalselteng) yang kebetulan juga akan berangkat ke Jakarta dengan pesawat yang sama.
Pukul 12.00 wita
Sesaat sebelum naik ke pesawat terbang Garuda Indonesia Airways, lagi-lagi H. Madslam jatuh pingsan. Ia terpaksa digantikan oleh H. Hasyim pamannya sendiri. H, Madslam siuman kembali ketika roda pesawat terbang terangkat dari landasan pacu lapangan terbang Ulin Banjarbaru. Namun, tidak berapa lama kemudian H. Madslam pingsan lagi.
Pukul 12.30 wib
Pesawat terbang Garuda Indonesia Airways yang membawa intan hasil temuan H. Madslam dkk mendarat di lapangan terbang Kemayoran Jakarta. Intan kemudian dibawa ke rumah Soetjipto Joedodihardjo untuk dititipkan di sana.
Senin, 30 Agustus 1965
Pukul 12.00 wita
` H. Madslam, H. Hasnan, dan H. Anang Syachruni berangkat ke Jakarta dengan menumpang pesawat terbang yang tinggal landas di lapangan terbang Ulin Banjarbaru. Ternyata, pesawat terbang Garuda Indonesia Airways yang mereka tumpangi tidak langsung terbang ke Jakarta, tetapi singgah dulu di Surabaya. Mereka terpaksa menginap di Surabaya.
Pukul 12.00 wib
Sementara itu, di Jakarta berlangsung pertemuan antara Presiden Soekarno dengan rombongan pembawa intan hasil temuan H. Madslam dkk. Pada kesempatan itulah intan diserahkan kepada Presiden Soekarno oleh Soetjipto Joedodihardjo dengan disaksikan langsung oleh rombongan pembawa intan yang datang dari daerah Kalsel.
Selasa, 31 Agustus 1965
Pukul 12.00 wib
H. Madslam, H. Hasnan, dan H. Anang Syachruni berangkat ke Jakarta dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia Airways yang tinggal landas di lapangan terbang Surabaya.
Pukul 12.30 wib
H. Madslam, H. Hasnan, dan H. Anang Syachruni tiba di Jakarta. Mereka disambut oleh petugas dari BPU Pertambun Jakarta. Mereka kemudian diinapkan di Mess Tambang Batubara Jakarta.
Pukul 19.00 wib
H. Madslam, H. Hasnan, dan H. Anang Syachruni dijamu makan malam di sebuah rumah makan di Jalan Bungur Besar Jakarta. Di tempat itu mereka bertemu dengan Irjenpol Soekahar (Pangdak Kalselteng), H. Basri, BA (Bupati Banjar), AKBP Aridjas Syarif (Danres Kepolisian Banjar), dan H. Basuni (Camat Astambul).
Pada kesempatan itulah H. Madslam diberitahukan bahwa intan sudah diserahkan kepada Presiden Soekarno pada hari Senin, 30 Agustus 1965.. (Bersambung)
Rabu, 1 September 1965
H. Madslam dan rombongan dibawa berkeliling kota Jakarta. Mereka diinapkan di Hotel Indonesia, hotel terbesar dan termewah di tanah air kita ketika itu. Setelah itu mereka dibawa berkeliling kota Bandung.
Pada kesempatan berada di Jakarta ini, H. Madslam sempat meminta pihak yang berkentingan untuk membantu bagaimana caranya supaya mereka dapat bertemu langsung dengan Presiden Soekarno.
Sesuai dengan prosedur resmi, pihak protokoler istana ketika itu berjanji akkan menghubungi para ajudan supaya H. Madslam dan rombongannya dapat bertemu Presiden Soekarno. Tapi, karena padatnya jadwal acara yang harus dijalani Presiden Soekarno, maka H. Madslam dan rombongannya tak kunjung dipanggil untuk bertemu.
Kamis, 2 September 1965
Presiden Soekarno memberinama Intan Trisakti untuk intan hasil temuan H. Madslam dkk.
Senin, 6 September 1965
Setelah berada di Surabaya, Jakarta, dan Bandung selama 7 hari, H. Madslam dan rombongannya hari ini tiba kembali di kota Cempaka.
Rabu, 29 September 1965
H. Madslam hari ini menerima uang sebesar Rp. 200 jt dari pemerintah pusat. Uang yang diterimanya itu merupakan uang pembayaran tahap pertama untuk pembelian Intan Trisakti. Pada hari itu juga uang dimaksud dibagi rata kepada mereka yang berhak menerimanya.
Kamis, 30 September 1965
Terjadi huru-hara politik di Jakarta. PKI melakukan penculikan atas 7 orang petinggi TNI AD. Para petinggi TNI AD itu kemudian dibunuh dengan cara-cara yang sadis di suatu tempat di Jakarta yang disebut lubang buaya.
Jumat, 1 Oktober 1965
Panglima Kostrad Mayjend Soeharto berhasil menumpas habis G30.S/PKI yang dipimpin oleh Letkol Untung dari Resimen Tjakrabirawa.
13 Desember 1965
H. Madslam dkk kelimpungan, tanpa diduga sama sekali pemerintah pusat melakukan sanering, yakni memotong nilai uang dari Rp. 1.000,- menjadi Rp. 1,- (Lembaran Negara Nomor 102/1965). Uang pembayaran harga intan yang baru mereka terima langsung merosot nilainya menjadi Rp. 200 ribu saja.
Pebruari 1966
Presiden Soekarno berhasil meredakan suhu politik yang sempat memanas setelah meletusnya huru-hara G30.S/PKI. Kesempatan ini digunakan oleh pemerintah pusat untuk membayar harga beli Intan Trisakti pada tahap kedua sebesar Rp. 200 riba uang baru yang setara dengan Rp. 200 juta uang lama. Pada hari itu juga uang dimaksud dibagi rata kepada mereka yang berhak menerimanya.
Maret 1966
H. Madslam menerima uang sebesar Rp. 960 ribu uang baru yang setara dengan Rp. 960 juta uang lama dari pemerintah pusat. Uang yang diterimanya itu merupakan uang pembayaran tahap ketiga untuk pembelian Intan Trisakti. Tapi, uang ini tidak dibagikan karena merupakan uang yang harus mereka bayarkan untuk ongkos naik haji secara berombongan bagi 86 orang calon jemaah haji.
Rinciannya 22 orang berstatus sebagai anggota kelompok pendulang intan penemu Intan Trisakti, 22 orang isteri-isteri mereka, dan sisanya adalah calon jemaah haji yang berstatus sebagai pemilik tanah, pemilik pompa, pemilik peralatan lainnya, para pejabat Pemda Kalsel, dan para pejabat Departemen Pertambangan Jakarta (yang juga berangkat beserta isteri/suaminya masing-masing).
15 Juni 1966
Mulyono, pejabat Bank Indonesia Jakarta, hari ini menyerahkan Intan Trisakti kepada Dr. IC Berg. Penyerahan Intan Trisakti dilakukan di anak tangga pesawat terbang KLM yang sudah siap tinggal landas dari Bandara Kemayoran Jakarta menuju ke Den Haag, Negeri Belanda. Menurut rencana Intan Trisakti akan diperiksa oleh tim ahli dari NV Asecher Belanda.
9 Nopember 1966
Tim ahli NV Asecher Belanda menemukan cacat fisik pada Intan Trisakti. Ada fleks (kotoran) yang melekat di dalamnya. Fleks itu harus dibuang lebih dulu. Selain itu, pihak NV Asecher juga menyarankan agar Intan Trisakti dipotong-potong menjadi beberapa butir. Alasannya, jauh lebih mudah menjual beberapa butir intan berukuran kecil, daripada menjual sebutir intan berukuran besar.
Pemerintah pusat menyetujui semua usulan NV Asecher itu. Intan Trisakti kemudian dipotong-potong hingga menjadi beberapa butir. Butiran terbesar konon berukuran 60 karat. Intan ini kemudian dibeli oleh seorang pengusaha Jerman sebagai hadiah untuk isterinya. Butiran intan lainnya yang berukuran lebih kecil juga dibeli orang tak lama setelah selesai dipotong dan digosok oleh tim ahli NV Asecher Belanda.
Desember 1966
H. Madslam menerima uang sebesar Rp. 2.140.000,- dari pemerintah pusat. Uang yang diterimanya ini merupakan uang pembayaran tahap ke empat (tahap terakhir) untuk pembelian Intan Trisakti. Pada hari itu juga uang dimaksud dibagi rata kepada mereka yang berhak menerimanya.
Tahun 1973
H. Madslam berangkat ke Jakarta untuk menemui seorang pejabat BPU Pertambun yang berjanji akan membantunya menuntut pembayaran tambahan kepada pemerintah pusat atas harga penjualan Intan Trisakti miliknya.
H. Madslam ketika itu Cuma menerima surat penghargaan yang diberikan oleh Menteri Pertambangan RI Armunanto (Anggota Kabinet Seribu Menteri).
Setelah sempat menggelandang selama 2 hari di Istora Senayan Jakarta, H. Madslam akhirnya berhasil pulang kembali ke kota Cempaka. Biaya untuk pulang kembali ke kota Cempaka itu diperolehnya dari bantuan Ridwan Machmud, pejabat BPU Pertambun Jakarta yang bersimpati kepada nasib buruknya.
19 Juni 1975
H. Madslam dkk mengangkat Antara Hutauruk sebagai pengacara yang akan bertindak atas nama mereka dalam usaha menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.
Langkah pertama yang ditempuh Antara Hutauruk adalah mengirim surat kepada Direktur Utama BPU Pertambun Jakarta. Isi surat itu adalah pihak klien yang diwakilinya menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.
19 Agustus 1975
Antara Hutauruk mengirim surat kepada Presiden Soeharto. Isi surat itu adalah pihak klien yang diwakilinya menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.
2 Oktober 1975
Antara Hutauruk menerima balasan surat dari Inspektur Jenderal Departemen Pertambangan RI (Laksamana Muda JU Sulamet). Surat balasan itu berisi penjelasan bahwa masalah pembayaran harga jual beli Intan Trisakti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.
19 Oktober 1975
Antara Hutauruk mengirim surat kepada Inspektur Jenderal Departemen Pertambangan RI (Laksamana Muda JU Sulamet). Melalui surat yang dikirimkannya itu Antara Hutauruk mengajukan sejumlah argumen dan fakta-fakta yang mendukung klaimnya bahwa kliennya sangat layak untuk mendapatkan uang tambahan pembayaran dari pemerintah pusat atas transaksi jual beli Intan Trisakti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.
28 Oktober 1975
Sekretaris Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara mengirim surat kepada Gubernur Kalsel. Surat itu berisi penegasan bahwa masalah pembayaran harga jua beli Intan Trisakti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.
19 Januari 1976
Antara Hutauruk mengirim surat kepada Presiden Soeharto dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Isi surat itu adalah pihak klien yang diwakilinya menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.
26 Pebruari 1976
Antara Hutauruk menerima surat balasan dari Mudjono, SH, Sekretaris Jenderal DPR RI. Surat itu berisi penegasan bahwa masalah pembayaran harga jual beli Intan Trisakti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.
16 Nopember 1976
Antara Hutauruk mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal DPR RI di Jakarta. Melalui surat yang dikirimkannya itu Antara Hutauruk mengajukan sejumlah argumen dan fakta-fakta yang mendukung klaimnya bahwa kliennya sangat layak untuk mendapatkan uang tambahan pembayaran dari pemerintah pusat atas transaksi jual beli Intan Trisakti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.
5 Januari 1978
Anatar Hutauruk kembali mengirim surat kepada Presiden Soeharto. Isi surat itu adalah pihak klien yang diwakilinya menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.
Majalah Dialog Jakarta menurunkan tulisan bersambung tentang kisruhnya dan belum tuntasnya pembayaran harga jual beli Intan Trisakti oleh pemerintah pusat kepada H. Madslam dkk.
7 Nopember 1979
Antara Hutauruk mengundurkan diri sebagain pengacara H. Madslam dkk.


Sastrawan Kalsel Sebuah Pengakuan



( Catatan Untuk Sainul Hermawan Dan Tajudd in Noor Gani )


Oleh: HE. Benyamine

Antologi biografi sastrawan Kalimantan selatan yang disusun Tajuddin Noor Ganie (TNG) adalah satu bentuk pengakuan dan penghargaan kepada orang-orang yang dikategorikan sastrawan berdasarkan rumusan yang ditentukan olehnya sendiri. Terlepas yang lain juga mengakui atau tidak? Pengakuan dan penghargaan itu sudah dikemukakan TNG dengan mengacu pada definisi yang dikemukakannya dalam tulisan Antologi Biografi 643 Sastrawan Kalsel (Radar Banjarmasin, 26 September 2010: 5), yang terbuka untuk dipertanyakan sebagaimana yang dilakukan Sainul Hermawan (SH) dalam tulisan Siapakah Sastrawan Kalsel? (Radar Banjarmasin, 10 Oktober 2010: 5), dan selanjutnya kedua tulisan itu juga masih terbuka untuk dipertanyakan dan didiskusikan.

Dalam tulisan TNG tentang sastrawan Kalsel yang mengemukakan jumlah sastrawan yang dapat didokumentasikan berdasarkan rumusan olehnya, tidaklah seperti pandangan SH yang sangat fantastis, tetapi sebenarnya merupakan hal yang logis dan malah masih banyak yang belum terdokumentasikan sehingga jumlah itu bisa lebih banyak lagi, seperti anak SD Kalsel yang puisinya dimuat majalah Bobo.

Perhitungan kembali yang dikemukakan SH, tentu harus menentukan kembali rumusan yang menjadi dasar penentuan perhitungan tersebut, sehingga ketepatan dalam perhitungan masih tergantung pada rumusan baru. Hitungan tepat, yang diharapkan SH, belum tentu juga tepat menjadi acuan bagi kajian yang lebih serius dalam sastra karena apa yang sudah dikemukakan TNG juga dapat menjadi acuan bagi kajian yang lebih serius, yang sebenarnya tergantung pada peneliti atau pengkajinya, juga karena kajian sastra tidak hanya tergantung dengan jumlah sastrawannya. Di sini pertanyaan SH, apakah setiap orang yang pernah menulis sebuah karya sastra adalah sastrawan? dengan menganalogikan dengan beberapa pertanyaan seperti apakah setiap manusia pasti manusiawi untuk memahami jumlah sastrawan yang dikemukakan TNG tidak sebanding, dan cenderung menggiring pada perbandingan yang keliru, apalagi SH mengemukakan bahwa sastrawan adalah kualitas tersendiri yang diberikan oleh masyarakat sastra suatu wilayah kepada penulis yang bisa saja orang tersebut hanya memiliki satu karya sastra yang pernah dipublikasikannya dan mendapat apresiasi pembaca yang luas dan mendapatkan penghargaan atas karya tersebut.

Adapun beberapa pernyataan yang dikemukakan TNG mengenai siapa sastrawan Kalsel, seperti SH pertanyakan, memang ada beberapa yang perlu dilihat kembali dari definisi yang menjadi landasan pengkuan dan penghargaan TNG tersebut, terutama dalam pendefinisian yang dirumuskan TNG sebagai rujukannya.

Pernyataan (1) : "Sastrawan Kalsel adalah sastrawan yang lahir di Kalsel atau pernah tinggal di Kalsel. Hanya itu, tidak ada kriteria lain yang bersifat eksklusif secara sosial politik", pernyataan ini masih belum jelas siapa sastrawan itu sendiri, penambahan Kalsel hanya keterangan tentang sastrawan yang menunjukkan suatu tempat di mana sastrawan itu berada. Apakah yang dimaksud sastrawan itu sama dengan definisi Wikipedia sebagaimana dikutip SH? Jadi pertanyaan SH sebenarnya juga tidak tepat, karena TNG Tajuddin dengan pernyataannya tidak mengemukakan definisi sastrawan, tapi hanya tentang keterangan tempat sastrawan. Karena dalam definisi TNG tersebut melakukan pengulangan kata sastrawan ke dalam definisinya untuk menjelaskan sastrawan Kalsel, yang merupakan bentuk kelemahan dalam membuat suatu definisi.

Sedangkan tidak ada kriteria lain yang bersifat eksklusif secara sosial politik, merupakan pembatasan definisi yang tidak jelas keterkaitannya dengan definisi sastrawan Kalsel, malah kalimat itu menjadikan definisinya menjadi sangat terbuka. Bagaimana mungkin tidak bersifat eksklusif jika seseorang diberikan label atau status tertentu, dalam hal ini sebagai sastrawan?

Pernyataan (2): "Sastrawan Kalsel adalah siapa saja yang ketika tinggal di Kalsel dikenal luas sebagai penulis karya sastra bergenre modern dalam bahasa Indonesia di berbagai koran/majalah dan buku-buku sastra", pernyataan ini memang kontradiktif dengan pernyataan (1), karena "yang lahir di Kalsel atau pernah tinggal di Kalsel" dan "ketika tinggal di Kalsel dikenal luas sebagai penulis" tidak sejalan. Bisa saja lahir di kalsel, terkenal sebagai penulis di luar kalsel begitu juga yang pernah tinggal di kalsel yang pada saat tinggal di kalsel tidak dikenal luas sebagai penulis, baru kemudian setelah keluar kalsel dikenal luas sebagai penulis.

Dengan melihat kata kunci dalam pernyataan (2), penulis, sastra, modern, bahasa Indonesia dan dikenal luas yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai pembatas yang oleh SH untuk menyatakan bahwa karya sastra yang tidak modern, tidak berbahasa Indonesia bukan karya sastra sastrawan Kalimantan Selatan sebagai implikasinya. Jika memperhatikan pernyataan TNG yang mengemukakan sastrawan Kalsel, maka yang dimaksudkannya tentu saja pembatasan pada wilayah Kalsel sebagai provinsi, sehingga karya sastra sebelum Kalsel sebagai provinsi tidak termasuk dalam rumusan tersebut. Pembatasan Kalsel (provinsi) inilah yang mengesampingkan para pujangga penulis syair Banjar bukanlah sastrawan Kalsel meskipun tulisan itu dikenal luas dan mendapatkan penghargaan pada zamannya. Sehingga, modern dalam pernyataan (2) itu lebih pada kekinian dari Kalsel, yang tidak ada hubungannya dengan modern pada karya syair Banjar pada zamannya. Di sini SH terlalu jauh melompat dalam berpikir, yang langsung ke zaman para pujangga dengan karya syair Banjar, sementara TNG telah membatasi dengan sastrawan Kalsel sebagai suatu wilayah. Mungkin, di sini yang perlu dipertanyakan adalah genre modern sebagaimana dikemukakan SH, karena perlu adanya penelitian atau sebenarnya TNG sudah melakukan penelitian itu atau mengacu pada klasifikasi tertentu yang memang perlu dijawab oleh TNG tentang hal ini.

Jadi, tulisan TNG tentang sastrawan Kalsel berdasarkan definisinya, sepakat dengan SH, merupakan pintu pembuka untuk memasuki belantara sastra yang ada sebelum Kalsel (provinsi) dan yang kekinian Kalsel. Catatan TNG sebagai sebuah pengakuan memberikan ruang yang lebar dilihat dari definisi yang digunakannya, yang dapat dipahami sebagai upaya pemetaan dan memberi jalan untuk penelitian dan pengkajian sastra selanjutnya yang tidak hanya terpaku pada jumlah sastrawannya.

(Radar Banjarmasin, 17 Oktober 2010: 5)


Siapakah Sastrawan Kalsel ?

oleh Sainul Hermawan
Catatan untuk Tajuddin Noor Ganie
Sebagai publik sastra di Kalimantan Selatan kita beruntung memiliki Maman S. Tawie dan Tajuddin Noor Ganie. Keduanya saya takzimi dengan panggilan Pak. Kedua aktor sastra ini memiliki keajegan yang tak tertandingi dalam mencurahkan perhatian secara sukarela untuk mendokumentasikan dan mencatat perkembangan sastra di Kalimantan Selatan, terutama karya yang dipublikasikan di media cetak di Kalsel atau dalam bentuk buku yang dipublikaksikan di institusi sastra di Kalsel.

Pada tanggal 26 September dan 03 Oktober 2010, Pak Tajuddin mempublikasikan catatannya, “Antologi Biografi 643 Sastrawan Kalsel” di Radar Banjarmasin . Jumlah yang sangat fantastis. Tapi jumlah yang berbeda muncul kemudian, semacam meralat rilis yang pertama. Tulisan tersebut sangat penting bagi mereka yang berminat meneliti sejarah sastra yang ada di Kalimantan Selatan. Tetapi dalam proses pembacaan, saya seperti diseret paksa oleh beberapa pernyataan dan konsep yang perlu didiskusikan lebih jauh.

Tulisan tersebut seperti jalan pembuka untuk mendiskusikan kembali sejarah tradisi sastra di Kalimantan Selatan yang sejauh ini masih simpang siur. Perhitungan yang dilakukan penulis antologi perlu kita perhitungkan kembali karena hitungan yang tepat dapat menjadi acuan bagi kajian yang lebih serius. Jumlah itu secara korespondensial memang benar tetapi apakah juga benar secara paradigmatik dan koherensial?

Analogi yang bisa kita pakai untuk memahami jumlah sebanyak itu adalah dengan menanyakan apakah setiap orang yang pernah menulis sebuah karya sastra adalah sastrawan? Secara analogik kita bisa mengaitkan dengan logika pertanyaan yang sama, apakah setiap manusia pasti manusiawi, orang yang punya rohani adalah rohaniawan, orang yang belajar sejarah adalah sejarawan, pemimpin negara pasti negarawan, orang yang belajar ilmu agama pasti ulama?

Berdasarkan pengalaman manusia, sastrawan tentulah bukan setiap orang yang pernah menulis karya sastra. Karya sastra bisa ditulis oleh penulis dengan latar belakang apapun, tetapi sastrawan adalah kualitas tersendiri yang diberikan oleh masyarakat sastra suatu wilayah kepada penulis yang dipandang layak menyandangnya, misalnya melalui apresiasi pembaca yang luas, penghargaan komunitas, atau penghargaan pemerintah. Oleh karena itu, penjelasan tentang pengkategorian yang jelas sangat diperlukan.

Di samping persoalan itu, beberapa masalah ada dalam pernyataan tulisan itu. Pertama, perhatikan pernyataan baris pertama: Sastrawan Kalsel adalah sastrawan yang lahir di Kalsel atau pernah tinggal di Kalsel. Hanya itu, tidak ada kriteria lain yang bersifat eksklusif secara sosial politik. Apakah kriteria ini tidak bersifat eksklusif secara sosial politik? Pikirkan kembali, apakah kelahiran bukan kategori sosial? Mari lihat KTP kita, mengapa kita ditanya tempat dan tanggal lahir? Tidak adakah maksud politik identitas? Bukankah identitas adalah milik pribadi kita? Mengapa pemerintah atau negara ingin mengetahuinya? Tentu di balik semua ini ada misi politik yang berkaitan dengan konstruksi kebijakan. Tempat dan waktu ternyata juga kategori sosial dan politik yang penting untuk menetapkan kebijakan-kebijakan sosial politik yang bisa inklusif dan juga bisa eksklusif.

Kedua, pikirkan pula kategori ini: Sastrawan Kalsel adalah siapa saja yang ketika tinggal di Kalsel dikenal luas sebagai penulis karya sastra bergenre modern dalam bahasa Indonesia di berbagai koran/majalah dan buku-buku sastra. Kata kuncinya adalah penulis, sastra, modern, dikenal luas. Frase siapa saja sangat membingungkan karena pada rangkaian pengertian selanjutnya, pengertian ini dibatasi dengan frase dikenal luas, modern, dan bahasa. Pemahaman ini pun bisa berdampak pada munculnya makna baru bahwa karya sastra yang tidak modern, yang tidak berbahasa Indonesia, bukan karya sastra sastrawan Kalimantan Selatan. Kalau pengertian ini yang dipakai maka para pujangga penulis syair Banjar bukanlah sastrawan Kalsel meskipun mereka telah menulis dan mungkin pula dikenal luas dan mendapatkan penghargaan pada zamannya. Pun bisa juga karya mereka ‘modern’ pada zamannya. Bukankah makna “modern” sangat relatif?

Penyataan tersebut sangat berbeda dengan pengertian yang ditawarkan oleh Wikipedia. Ensiklopedia berbasis internet itu mendefiniskan sastrawan seperti ini: Sastrawan adalah istilah bagi orang-orang yang menghasilkan karya sastra seperti novel, puisi, sajak, naskah sandiwara dan lain-lain. Oleh karena itu, penyair, penulis, pujangga, serta profesi-profesi terkait lainnya bisa dikelompokkan sebagai sastrawan juga.[1] Jika demikian, Gusti Ali Basyah Barabai penulis Syair Brahma Syahdan, Gusti Ali Basyah Barabai penulis Syair Madi Kencana, Anang Mayur Babirik penulis Syair Teja Dewa, Anang Mayur Babirik penulis Syair Nagawati, Anang Ismail Kandangan, penulis Syair Ranggandis, Anang Ismail Kandangan penulis Syair Siti Zubaidah, Kiai Mas Dipura Martapura penulis Syair Tajul Muluk, Gusti Zainal Marabahan penulis Syair Nur Muhammad, Mufti Haji Abdurrahman Siddik Al-Banjary penulis Syair Ibarat adalah para sastrawan Kalsel juga.[2] Mereka dikenal luas. Apakah tak ada modernitas dalam karya mereka? Siapa yang telah meneliti kadar modernitasnya?

Selain itu, ada persoalan terminologis dalam konsep dikenal luas. Seberapa luas? Bagaimana memastikan bahwa sastra itu telah dikenal luas? Pernyataan ini sangat sulit diklarifikasi secara empiris. Apakah penulis puisi yang memanfaatkan internet sebagai media publikasi pasti dikenal luas? Apakah internet wilayah yang sepenuhnya bebas? Apakah penulis yang memublikasikan di koran lokal dan atau nasional pasti dikenal luas? Karena luas adalah kata sifat, kata itu tetap perlu diberi batas untuk memastikan apa yang dimaksud dengan luas itu dengan kajian perbandingan yang memadai.

Ketiga, konsep tentang sastra yang bergenre modern? Apakah modernitas sastra Kalsel yang dimaksud telah diteliti? Atau malah jangan-jangan muatan sastra Kalsel sebenarnya masih belum beranjak dari tradisionalitas, kalau hal itu bisa didualismekan. Apakah yang modern sebagaimana yang dimaksudnya memang tidak mengandung dualitas struktur? Bagi mereka yang ingin meneliti sastra, persoalan di atas adalah ranah penelitian yang belum tersentuh. Kajian sastra terlalu banyak yang masik berkutat pada persoalan intrinsik yang tak dapat diharapkan kontribusinya bagi penetapan estetika sastra di wilayah kita ini.

Keempat, pertanyaan-pertanyaan berseliweran setelah itu: Apakah pengertian karya sastra abad ke-17 masih sepenuhnya bisa dipakai saat ini? Memakainya tentu juga akan berimplikasi pada penentuan termasuk kategori sastra dalam ruang dan waktu Kalsel saat ini dan masa lalu. Bukankah teori berubah mengikuti perkembangan sejarah masyarakat dan masyarakat juga punya power untuk menganggap dan tidak menganggap seseorang sebagai sastrawan? Apakah Merayu Sukma yang telah menasional laik disebut sebagai sastrawan Kalimantan Selatan? Siapa yang menganggap? Anggapan sejarawan sastra, publik sastra, atau pemerintah? Jangan-jangan dia telah termasuk sastrawan nasional? Saya kira perlu penjelasan tentang hal ini. Konsep-konsep ini saya kira perlu diterangjelaskan terlebih dahulu.

Kelima, dinyatakan bahwa: Tidak ada pembatasan dalam hal kurun waktu kelahirannya, tempat kelahiran, latar belakang suku bangsa, agama, ras, golongan, asal daerah, dan tempat tinggalnya setelah dikenal luas sebagai sastrawan. Peryataan ini bernuasa dekonstruktif, dalam pengertian mengadakan sekaligus meniadakan sastrawan Kalsel. Apa yang disebut sastrawan Kalsel oleh antologi tersebut sebenarnya juga bukan sastrawan Kalsel, karena mereka bisa berada dalam kategori dari wilayah di luar Kalsel, misalnya Indonesia, dunia, atau daerah lain.

Inilah yang saya sebut bahwa catatan Pak Tajuddin adalah pintu pembuka untuk memasuki dunia kesastrawanan di Kalsel yang sangat kaya dan memiliki tradisi sastra sangat tua melampaui tahun yang disebutkan dalam tulisannya. Ini wilayah tambang kebudayaan yang sampai saat ini belum digali oleh para generasi pewarisnya. Penelitian sastra di dua perguruan tinggi masih berkutat pada persoalan sastra modern, sementara sastra klasik di Kalsel nyaris tak tersentuh. Kondisi ini tentu mengingatkan kita pada sajak WS Rendra yang terkenal, “Seonggok Jagung di Kamar”: ... Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Tapi saya berharap tulisan ini juga salah dan saya terbuka untuk dicerahkan kapan saja.


Radar Banjarmasin, 10 Oktober 2010



Perayaan Blogger+2010 Kalsel : Perayaan Keberagaman



Oleh: HE. Benyamine

Komunitas blogger Kalimantan Selatan, Kayuh Baimbai, menyelenggarakan kegiatan Mini Pesta Blogger+ Kalsel 2010 yang dipusatkan di Kota Banjarbaru. Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan Pesta Blogger 2010 secara nasional dengan tema besarnya Merayakan Keberagaman yang akan dipusatkan di Jakarta pada akhir Oktober, sebagai bentuk kesadaran terhadap kenyataan dan keniscayaan adanya keberagaman baik secara individu maupun komunitas di dalam masyarakat yang harus menjadi pendorong untuk saling harga menghargai, hormat menghormati, dan tolong menolong. Keberagaman merupakan pondasi kepedulian dan ketersentuhan yang menyatakan adanya saling ketergantungan satu dengan yang lain, suatu harapan adanya kebajikan dan kemurahan hati untuk saling melengkapi dan menjaga dalam damai kehidupan bersama.
Kegiatan Pesta Blogger+ Kalsel 2010 sebagai rangkaian kegiatan secara nasional merupakan kegiatan penting untuk lebih memperkenalkan Kalsel dan juga Kota Banjarbaru ke media dunia maya yang tidak terbatas. Pemerintah daerah seharusnya memanfaatkan event kegiatan blogger ini sebagai bagian dari promosi daerah masing-masing dengan memberikan dukungan yang dapat lebih mengoptimalkan penyelenggaraan kegiatannya. Kota Banjarbaru sebagai tempat diselenggarakannya acara, tentu Pemko Banjarbaru menyadari akan pentingnya kegiatan seperti ini sehingga tidaklah berlebihan jika memberikan dukungan yang besar untuk turut serta mensukseskan acara tersebut.
Pada kegiatan ini diselenggarakan Blog Workshop (Blogshop) dan Kopdar bareng (Baruhuian), yang pertama diperuntukkan bagi para pelaku pendidikan untuk lebih mengenalkan media blog sebagai wahan berkarya dan pembelajaran dengan peserta terbatas dan yang kedua sebagai ajang merayakan keberagaman sebagai acara bebas untuk siapa saja berhadir dan apapun komunitasnya (Radar Banjarmasin, 30 September 2010: 9). Kegiatan ini akan lebih mengenalkan teknologi informasi (khususnya internet) dan media sosial kepada masyarakat dengan jalan positif, yang mengenalkan internet untuk kepentingan kemajuan dan kebersamaan, dan bagaimana pemanfaatannya untuk kebajikan bersama dalam keberagaman.
Begitu juga bagi pemerintah daerah, keberadaan para blogger dan komunitasnya harus dapat didekati sebagai bagian penting dalam gerak pembangunan daerah. Para blogger dan komunitasnya merupakan bagian dari media sosial yang mempunyai jangkauan melebihi batas administrasi suatu wilayah dan kecepatan penyampaiannya dalam berbagai hal, sehingga keberadaan mereka sesungguhnya sangat penting bagi pemerintah daerah/kota untuk lebih mendekatkan berbagai program dan kebijakan serta mengetahui berbagai hal yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kesadaran pentingnya para blogger dan komunitasnya ditunjukkan pemerintah Kota Bekasi dengan memberikan dukungan yang luar biasa dalam berbagai yang acara yang diselenggarakan para blogger/komunitasnya, seperti kegiatan Amprokan Blogger, sehingga secara langsung sebenarnya Walikota Bekasi mengajak para blogger untuk mempromosikan Kota Bekasi dan yang dengan senang hati dilakukan para blogger beserta komunitasnya.
Keberadaan para blogger dan komunitasnya sebagai bagian dari media sosial di suatu daerah jika dapat didekati oleh pemerintah daerah (gubernur/bupati/walikota) atau dipandang sebagai bagian yang berperan dalam upaya kemajuan daerahnya tentu memberikan banyak peluang dan kesempatan yang dapat ditindaklanjuti untuk kepentingan bersama. Misalnya, persoalan sampah dan kebersihan kota, yang mungkin bagi media cetak lokal tidak begitu penting dijadikan berita, maka bagi para blogger dan komunitasnya hal itu penting karena mereka langsung berada pada lokasi di mana mereka tinggal. Begitu juga dengan mempromosikan daerah, yang mungkin jika melalui dinas terkait (pariwisata misalnya) ada berbagai keharusan aturan dan anggaran yang membuatnya tidak bisa bergerak dengan lentur dan cepat, sedangkan para blogger dan komunitasnya sebaliknya. Banyak hal yang terjadi dan ada di suatu daerah yang begitu saja terlewatkan dan tak terjamah jika hanya mengandalkan media cetak karena terikat dengan batasan ruang, tetapi melalui media sosial yang digeluti para blogger dan komunitasnya berbagai hal dari daerah meskipun kecil dapat menjadi berarti dan selanjutnya tersebar luas.
Oleh karena itu, pemerintah daerah/kota harus dapat menangkap peluang dan kesempatan dari keberadaan para blogger dan komunitasnya dengan cara mendekati dan menjadikan mereka sebagai bagian yang berperan penting dalam pembangunan dan kemajuan daerah. Dukungan yang sewajarnya (fasilitas) dan berkepentingan (khususnya pendanaan) pada kegiatan seperti Pesta Blogger+ Kalsel 2010 merupakan sebagai pengakuan pemerintah daerah/kota terhadap keberadaan media sosial. Apalagi kegiatan Pesta Blogger+ Kalsel 2010 akan dihadiri Duta Besar Amerika Serikat, yang menunjukkan suatu pengakuan eksistensi para blogger dan komunitasnya sebagai bagian dari keberadaan media sosial. Sukses kepada penyelenggara kegiatan, mari merayakan keberagaman dalam kedamaian dan damai selalu.

(Radar Banjarmasin, 1 Oktober 2010: 3)

Mempertahankan Nilai Budaya Banjar




Oleh: HE. Benyamine

Pijakan berpikir wali kota lebih menegaskan kebanggaan nilai budaya. Sungai sejak awal berdirinya Kota Banjarmasin merupakan bagian tak terpisahkan dari perkembangan budaya Banjar.
Lontaran pemikiran Walikota Banjarmasin membangunan rumah dinas menghadap ke sungai merupakan suatu pandangan yang mengarah ke dapan dan lebih maju dalam arah pembangunan kota Banjarmasin.
Pandangan ini merupakan kesadaran atas keberadaan sungai bagi kota Banjarmasin, sebagai sumberdaya dan aset yang saat ini mulai tenggelam (terkubur), yang mengarahkan kembali sungai sebagai halaman depan rumah.
Perubahan pandangan terhadap sungai, dari masa lalu sebagai halaman depan, lalu menjadi halaman belakang, dan kemudian oleh walikota Banjarmasin digagas kembali menjadi halaman depan sebagai bentuk penegasan bahwa ini Banjarmasin kota seribu sungai.
Di samping itu, pijakan berpikir walikota lebih menegaskan kebanggaan pada nilai budaya, yang secara langsung menegaskan bahwa ada sesuatu yang ditelantarkan selama ini. Sungai-sungai yang sejak awal berdirinya kota Banjarmasin menjadi bagian pijakan yang tak terpisahkan dari perkembangan budaya Banjar.
Apalagi, cara berpikir yang dapat dengan tanggap terhadap harga yang harus ditanggung dari uang rakyat hanya untuk rencana renovasi rumah dinas beserta segala fasilitasnya yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan harga jika membangun rumah dinas baru.
Dengan cara berpikir seperti itu, memberikan kemungkinan untuk menentukan pilihan berdasarkan pada kebanggaan terhadap nilai budaya yang selama ini seperti tidak diperhatikan, selain itu lebih mengoptimalkan penggunaan uang rakyat.
Pembangunan rumah dinas Walikota Banjarmasin yang menjadikan sungai sebagai halaman depan, sebagaimana pada masa kerajaan, apalagi arsitektur mengacu pada rumah adat Banjar, merupakan suatu perwujudan cara pandang yang menghargai khasanah budaya dan sekaligus sebagai upaya melestarikannya.
Gagasan itu memang perlu mendapatkan masukan dari berbagai ahli dan berbagai pihak, seperti kalangan budayawan dan ahli arsitektur, untuk lebih memperkuat dan mendekatkan pada nilai-nilai budaya dari sebuah rumah sebagaimana raja-raja pada masa lalu yang akan ditempati Walikota “raja” Banjarmasin.
Dengan menjadikan sungai sebagai halaman depan, walikota Banjarmasin sebagai pioner lewat perwujudan rumah dinas yang menghadap ke sungai, akan membuka berbagai pandangan yang lebih perspektif dan maju terhadap keberadaan sungai di Banjarmasin.
Berbagai peluang dapat mengiringi gagasan itu, terutama kalangan menengah ke atas yang mempunyai kemampuan finansial untuk membeli rumah di pinggir sungai lalu membangunnya kembali dengan arsitektur rumah adat Banjar sebagai aset prestisius. Hal itu yang secara tidak langsung membantu pemerintah kota dalam penataan bangunan di pinggir sungai yang lebih memiliki estetika dan ramah lingkungan.
Rumah dinas walikota Banjarmasin tersebut juga dibangun dermaga untuk kapal dinas walikota yang pada saat melakukan perjalanan selalu membunyikan sirine sebagaimana di jalan raya, yang mana hal ini dapat dijadikan bunyi yang mengingatkan bahwa sungai sangat berharga bagi kota Banjarmasin. Pada beberapa lokasi juga dibangun dermaga yang menjadi titik persinggahan bagi walikota dan masyarakat dalam melakukan kunjungan kepada warga masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai atau lokasi tertentu.
Kunjungan-kunjungan walikota Banjarmasin dengan kapal dinasnya menyusuri sungai-sungai memperlihatkan kepada pejabat di pemko bagaimana keadaan sungai dan segala permasalahannya, sehingga lebih mengenal dan memperhatikan keberadaan sungai-sungai tersebut.
Berbagai pihak dapat tergiring untuk lebih menyadari pentingnya sungai karena ada komitmen yang dapat dilihat langsung melalui bangunan rumah dinas walikota Banjarmasin yang menghadap ke sungai dan bunyi sirine kapal dinas walikota dalam melakukan sebagian perjalanannya ke tempat-tempat tertentu yang dapat dilalui melalui sungai.
Masyarakat secara perlahan terdorong untuk memperlakukan sungai dengan baik, karena pemerintahan di tingkat kelurahan yang lebih bersinggungan secara langsung dengan kehidupan warga berkomitmen untuk menjaga sungai.
Gagasan walikota Banjarmasin untuk membangun rumah dinas walikota yang berada di pinggir dan menghadap sungai merupakan suatu sikap dan pola pikir yang terikat dengan nilai budaya Banjar (khusus di Banjarmasin) dan mempunyai pandangan jauh ke depan dan maju dalam pembangunan dan perkembangan kota Banjarmasin selanjutnya. Gagasan itu akan membuka pandangan warga masyarakat dalam memandang sungai sebagai halaman depan rumah dan penting sebagai acuan dalam tata ruang kota Banjarmasin yang lebih ramah lingkungan dan berbudaya.
Pemikiran dan komitmen pemerintah kota yang bertumpu pada budaya dalam berbagai kebijakannya dapat mengembalikan kepercayaan diri dan mengangkat nilai-nilai budaya, sehingga dapat lebih kokoh dan terbuka dalam menyongsong kemajuan dan kemodernan kota yang lebih berwawasan lingkungan dan budaya.

(BANJARMASIN POST, 29 September 2010: 26)

Komentar :
Yang lebih penting sungainya perlu diperhatikan.Sebagian besar sungai2 di Bjm sudah musnah.Kembalikan sungai itu kemudian bangun rumah secara terencana dan teratur.Senonoh masih ada sungai satu dua yang mulai menyempit,bau tahi lagi.Kalau ada pemikiran Walikota akan membangun perumahan rumah dinas ,alangkah baiknya bangun perumahan rumah terapung sebagai rumah dinas,ini adalah kalau betul2 memiliki kebanggaan nilai budaya. Perumahan rumah dinas terapung ini adalah juga berfungsi agar mengingatkan jangan semena-mena membabat hutan dan membongkar lahan tambang batu bara membabi buta.Pencegahan banjir. Salam.(Arsyad Indradi)


Budaya Banjar Maayun Anak




Oleh : Arsyad Indradi

Adalah tradisi ibu-ibu masyarakat banjar jika menidurkan anak bayinya dengan cara mengayun, sejak zaman dahulu sampai sekarang. Ayunan itu terbuat dari tapih bahalai atau kain kuning dengan ujung –ujungnya diikat dengan tali haduk ( ijuk ). Ayunan ini biasanya digantungkan pada palang plapon di ruang tengah rumah. Pada tali tersebut biasanya diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, katupat guntur, katupat sarang samut, halilipan laki-bini,ular lidi, keris-kerisan, tangga pangeran, kambang sarai dengan maksud dan tujuan sebagai penangkal hantu – hantu atau penyakit yang mengganggu bayi. Posisi bayi yang diayun ada yang dibaringkan dan ada pula posisi duduk dengan istilah dipukung. Mengayun anak ini ada yang mengayun biasa dan ada yang badundang. Mengayun biasa adalah mengayun dengan berayun lepas sedang mengayun badundang adalah mengayun dengan memegang tali ayunan. Yang lebih menarik adalah menidurkan anak ini sang ibu sambil bernyanyi, bernyanyi dengan suara merdu berayun-ayun atau mendayu-dayu. Lirik lagu ini sangat puitis. Liriknya seperti ini :

Guring – guring anakku guring
Guring diakan dalam pukungan
Anakku nang bungas lagi bauntung
Hidup baiman mati baiman

Catatan : Jika anaknya posisi berbaring lirik “ pukungan “ diganti dengan “ ayunan “.
Isi lirik ini adalah pujian anaknya yang cantik ( cakap ) dan doa agar anaknya kelak kuat imannya dalam agama sampai akhir hayatnya.
Seandainya anaknya masih rewel tidak juga mau tidur, biasanya sang ibu berkata : His ! cacak ! anakku jangan diganggu inya sudah guring.

Maayun anak ini terkadang sengaja diadakan pada acara Mauludan yakni tanggal 12 Rabiul Awwal. Dengan maksud agar mendapat berkah kelahiran Nabi Muhammad SAW
Pada perkembangannya, maayun anak ini menjadi sebuah tradisi budaya yang setiap tahun digelar dengan istilah “ Baayun Maulud” Baayun Maulud ini sungguh berisi pesan-pesan religiusitas, filosofis dan local wisdom ( kearifan local ).
Baayun Maulud ini setiap tanggal 12 Rabiul Awwal yakni menyambut dan memperingati Maulud Rasul, oleh masyarakat Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara selalu mengadakan upacara Baayun Anak atau Baayun Maulud. Tradisi budaya ini mulai popular sejak tahun 1990-an.
Baayun Anak ini adalah salah satu agenda tahunan bagi Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru Kalimantan Selatan. Yang lebih unik lagi pesta Baayun Anak ini bukan hanya baayun anak saja tetapi pesertanya juga dari manula yakni nenek-nenek dan kakek-kakek. Mereka sengaja ikut baayun karena nazar. Nazar ini karena sudah tercapai niat atau tujuannya seperti sudah kesampaian naik haji, mendapat rejeki yang banyak atau untuk maksud agar penyakitnya hilang dan panjang umur.*****