Kamis, 12 Januari 2012

KEHIDUPAN MENJADI SEMPURNA DENGAN SASTRA (Pengukuhan Komunitas Sastra (KSI) Batola)

Oleh: HE. Benyamine

Sastra mampu menggambarkan peristiwa dengan sempurna, menjadi sempurna, dan menyentuh diri secara sempurna. Melalui sastra, kehidupan ini lebih dapat dinikmati dengan menghadirkan pemaknaan yang mengarah pada penemuan hikmah pada setiap peristiwanya. Berbicara tentang sastra, begitulah bupati Kabupaten Barito Kuala, H. Hasanuddin Murad, SH., pada acara pengukuhan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Barito Kuala dan Pagelaran Sastra (26 Desember 2011: 20.00) di Panggung Terbuka yang menghadap sungai Barito.

Ungkapan bupati tersebut menunjukkan suatu pemahaman yang luar biasa atas sastra, meski beliau mengaku tidak begitu mengerti dengan sastra, yang memberikan harapan dan spirit pada pertumbuhan dan perkembangan sastra di Batola khususnya. Apa yang dikatakan bupati itu, mungkin dipengaruhi masa kecil beliau, yang memang hidup dengan kegembiraan sastra lisan sebagaimana masa kecil sebagian anak semasa beliau, karena masih sering terdengar senandung syair dan pantun juga bentuk sastra lisan lainnya.

Pada pengukuhan KSI Batola, yang dihadiri beberapa tokoh sastra dari Batola sendiri; Iberamsyah Amandit, H. Roeck Syamsuri Saberi (Ketua DKD Batola), Syarkian Noor Hadie, AA. Ajang, Maskuni, SPd (Ketua KSI Batola terpilih) dan lainnya, juga dari kota Banjarbaru seperti Hamami Adaby, Ali Syamsuddin Arsi, dan Iberamsyah Barbary, dan dari kota Banjarmasin seperti YS. Agus Suseno, Micky Hidayat, Syarifuddin R., dan Burhanuddin Soebely, sungguh terasa suatu perhelatan yang meriah dan menghibur. Dengan panggung sederhana, beberapa tampilan pagelaran sastra tampil memukau, yang seakan mengusik ketenangan arus sungai Barito yang sedang menahan beban pergerakan tongkang batubara yang juga merambat pelan-pelan.

Penampilan penari yang membuka pagelaran sastra membawa hadirin pada pengukuhan percikan keindahan yang terbentang di banua Barito Kuala, penari-penari yang mengalirkan kekuatan dengan cara kelembutan dan keindahan. Para penari mengerti bahwa Barito Kuala mempunyai kemampuan untuk berperan aktif dalam seni budaya, yang saat ini merupakan bagian dari 14 sektor ekonomi kreatif, dengan penampilan mereka yang bertenaga namun lembut.

Tampilan musikalisasi SMAN 1 Marabahan sungguh merasuk dan mengalun dengan lembut, dengan membawakan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, terutama saat vokal perempuan (maaf namanya tak tahu; suaramu merdu) menyenandungkan balada tersebut, ada suatu aliran yang tenang dan menjadikan puisi tersebut terasa indah dan terkuat pesannya.

Sedangkan tampilan dramatisasi SMAN 1 Marabahan, yang mengangkat cerpen Sandi Firly berjudul Senja Kuning Di Sungai Martapura, dengan kelemahan sound system sehingga dialognya banyak yang tidak terdengar, secara keseluruhan mampu menghadirkan pertunjukkan yang menarik dan menghibur dengan sesuai dengan cerpennya. Penafsiran yang dramatis dan ditunjang dengan pilihan properti yang baik, tentu saja apa yang mereka tampilkan merupakan harapan yang cerah bagi pertumbuhan dan perkembangan pagelaran sastra di Batola.

Penampilan pembacaan syair, pantun, dan puisi oleh Sanggar Seni MAN 1 Marabahan, juga mampu menunjukkan bahwa sastra lisan tersebut juga menarik untuk ditampilkan sebagai suatu hiburan. Begitu juga dengan seni tradisional Madihin, yang merupakan sastra lisan juga, yang ditampilkan mahasiswa Unlam asal Batola.

Pagelaran sastra yang mengiringi pengukuhan KSI Batola, merupakan suatu petunjuk dan seakan gayung bersambut dengan gagasan Kepala Pariwisatan, Dinas Pemuda dan Olah Raga untuk menyelenggarakan pagelaran seni budaya, termasuk sastra, di panggung terbuka sebulan sekali setiap malam Selasa yang bertepatan dengan Pasar Malam Batola. Gagasan ini merupakan suatu petunjuk bahwa pemerintah daerah menyadari pentingnya memberikan dan menyediakan panggung pertunjukkan seni budaya dalam upaya menghidupkan seni budaya tradisional yang sebenarnya masih menjadi bagian kehidupan warga masyarakat. Apalagi, panggung tersebut di samping rumah dinas bupati, yang memungkinkan bupati berhadir pada waktu tertentu untuk menikmati pertunjukkannya.

Kehadiran bupati Batola pada pengukuhan KSI Batola dan Pagelaran Sastra, dan beliau mengikuti acara hingga selesai yang berakhir pada tengah malam (24.00), menjadikan acara malam itu sebagai sesuatu yang spesial dan bermakna, apalagi kehadiran beliau bukan untuk melantik atau mengukuhkan pengurus terpilih, dan tidak seperti yang umum dalam hajatan sastra yang mana pejabat publiknya pulang setelah acara pembukaan atau setelah mengukuhkan atau melantik. Bupati Batola mengikuti acara pagelarannya terlihat menikmati, dengan rokok kretek yang terus mengepul, dan mungkin saja membayangkan bahwa pagelaran yang sedang beliau saksikan merupakan pertunjukkan yang layak untuk diselenggarakan secara kontinue dan lebih intens; pejabat publik juga butuh mengisi waktu luangnya dengan seni budaya.

Pada jelang tengah malam, para penyair hebat, tampil membacakan puisi, mereka adalah Iberamsyah Amandit dengan puisi beliau sendiri; Mamang Borneo, yang menghentak relung-relung hati penonton, bait terakhirnya, “Usir maling-maling itu, usir maling-maling itu/usir maling-maling itu” sebagai penutup yang menyergap jiwa untuk melawan perampokan tanah Borneo oleh keserakahan, lalu dilanjutkan Hamami Adaby dengan membawakan karya Hanna Fransisca, berikutnya Ali Syamsuddin Arsi si “Gumam” yang terlihat agak ringan dan santai namun tetap menyentak, lalu Mecky Hidayat dengan puisi adaptasi dari novel Rumah Debu, yang begitu kuat dan penuh daya dalam melihat kondisi pertambangan yang serakah dan tak berhati, dan ditutup oleh YS. Agus Suseno dengan syair tentang Batola dan harapannya ke depan dengan suara yang mengalun layaknya aliran sungai Barito; tenang dan damai.

Pembacaan puisi berlanjut dengan didaulatnya Bupati, Sekda, dan Kepala Dinas yang telah dipersiapkan beberapa puisi untuk mereka pilih sendiri. Bupati Batola ternyata memilih puisi dengan judul Petani karya Iberamsyah Amandit, itupun tebakan bupati karena dibuatnya di Tamban sebagai tempat tinggal penulisnya. Pilihan bupati atas puisi itu dijelaskan beliau karena sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Batola, dan peradaban awal saja dimulai dengan pertanian, yang merupakan suatu harapan dirinya untuk kemajuan Batola berbasis pertanian yang lebih maju, baik untuk petani sendiri maupun produk yang dihasilkannya. Di sini, bupati perlu mempertimbangkan kembali perluasan perkebunan sawit skala besar, karena akan berhadapan petani-petani dengan penghidupannya, tentu saja hal ini menjadi pemikiran beliau dalam hal sawit ini.

Sedangkan Sekda membacakan dengan penuh semangat, dan ternyata beliau dapat dikatakan sebagai pembaca puisi yang berbakat, ada kejutan yang menghentak dan menyentak kesadaran penonton. Begitu juga dengan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga yang dengan tenang menyelusup dengan suara beratnya. Mungkin, para pejabat publik seperti di atas perlu berhadir dan membacakan puisi, yang menjadi pelepasan beban pekerjaan dan tugasnya sebagai pejabat publik, selain tempat hiburan yang umum seperti karaoke atau lainnya.

Akhirnya, apa yang dikatakan Bupati dalam sambutannya di atas merupakan angin kebahagiaan bagi dunia sastra khususnya di Batola, apalagi beliau menambahkan bahwa melalui sastra membuat kritik lebih mudah diterima, sekeras apapun kritik itu, karena hal itu dilakukan oleh orang-orang yang penuh perenungan dan intelektual yang lurus. Apa yang disampaikan bupati merupakan suatu hal menarik untuk direnungkan bersama, karena sastra memang lebih sempurna dalam menggambarkan peristiwa dan keadaan, dan kritik dengan tulisan adalah peradaban yang maju.

(Media Kalimantan, 28 Desember 2011: C5)

Kegilaannya Arsyad Indradi

Oleh : Sainul Hermawan

ARSYAD INDRADI sudah setua provinsi ini. Di ulang tahunnya yang ke-57, dia mempersembahkan antologi puisi penyair nusantara 142 Penyair Menuju Bulan untuk dirinya sendiri dan juga mempersembahkannya untuk kota Banjarbaru, saat itu berulang tahun yang ke-7. Penyair yang konon tak pernah dikenal di jagat sastra nasional (setidaknya demikianlah pengakuannya sendiri pada suatu ketika), tiba-tiba membuat publik penyair di tanah air bertanya tentang siapa dirinya, saat dia mengundang mereka untuk mengirimkan puisi yang akan dihimpunnya dalam antologi itu. Antologi setebal 728 halaman yang dicetaknya sendiri, dengan biaya sendiri, diedarkan sendiri, secara gratis. Dalam kesederhanaan hidupnya, tindakan itu jelas nekad.
Karenanya sejumlah kawannya di daerah lain menjulukinya, sebagai penyair gila Bagaimana tidak gila, uang sedemikian banyak digunakan memproduksi artifak seni yang bukan kebutuhan pokok banyak orang. Gila karena dia, sebagai individu biasa,memainkan peran besar melebihi keinginan kota bahkan provinsi bahkan korporasi untuk mengapresiasi puisi.
Tetapi, kegilaan itu mungkin berada di atas kesadaran persoalan filosofisnya : Bukankah setiap hari banyak orang mengonsumsi dan memproduksi segala yang ada pada akhirnya jadi sampah juga ? Bukankah mereka ternyata memiliki kegilaan mereka sendiri-sendiri : gila hormat, gila jabatan, gila harta, gila-gilaan, gila tahta, gila wanita.
Kegilaannya sebenarnya adalah justru kewarasannya di tengah kegilaan yang lain. Betapa gilanya jika korporasi tak peduli pada puisi, pemerintah mencueki puisi, dan karenya masyarakat jadi menjauhi puisi. Seakan berpuisi tak punya peran bagi pencerdasan kehidupan bangsa. Sehatkah pemerintah yang tak mendukung kegiatan pencerdasan kehidupan bangsa ? Maka menggilai puisi ala Arsyad Indradi menjadi semacam terapi kejut bagi lembaga-lembaga resmi yang seharusnya lebih berani berbuat besar dari pada seorang Indradi yang sederhana dan kian senja. Karenanya, Setia Budhi dalam salah satu tulisannya menyebut apa yang dilakukan tetuha puisi di Banjarbaru ini sebagai perlawanan pada sesuatu yang konon berkuasa tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Arsyad Indradi telah mencatatkan dirinya dalam sejarah sastra Kalsel sebagai penyair paling nekad dan berani berkorban untuk puisi. Yang iri boleh dibilang dia cuma cari sensasi, tetapi sastra tak bisa dibangun dengan memupuk kedengkian di antara sesama pesastra. Dia telah membuat nusantara pada suatu masa berpikir tentang dan menoleh ke Banjarbaru karena ulahnya.
Dengan cara demikian, dia telah menunjukkan eksistensinya. Keberadaan baginya bukan semata kehadiran mengenang nama-nama besar atau mengenang masa kejayaan dirinya sebagai penyair. Keberadaan adalah menghadirkan gagasan dan pembuktian, menghancurkan keberadaan lama untuk mengadakan keberadaan baru, selalu dan selalu begitu.
Jika dalam antologi puisi itu sedikit sekali kita temukan puisi karya penyair Kalsel, konon mungkin idenya dianggap konyol dan mustahil. Dia membiarkan pesimisme itu. Sangat wajar, kalau kemudian kemampuan antologi ini menggaulkan penyair Kalsel dan lokal luar Kalsel bisa membuat sebagian penyair sebagai sesama di Kalsel merasa ditinggalkan oleh buku ini. Semacam perasaan sentimentil yang bisa dianggap kurang waras karena konon dia tak punya prerensi untuk menadah atau mengusir puisi orang-orang yang baru belajar jadi penyair.
Dengan cara demikian, Arsyad Indradi bukan saja menciptakan sejarah bagi dirinya, tetapi dia pun ingin meninggalkan jejak-jejak gagasan dan pelajaran bahwa mencintai puisi perlu bukti, mencintai puisi berarti membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin mencicipi pengalaman penciptaannya, dan mencintainya berarti menciptanya tanpa henti dan penuh inovasi, mencintainya berarti menyisakan ruang apresiasi dalam sanubari bagi puisi-puisi karya penyair lain. Saling menguatkan puisi yang dapat dilakukan oleh sesama penyair adalah cara lain untuk membesarkan puisi.
Menjaga kelestarian puisi perlu perhatian banyak pihak. Maka penyair juga punya kewajiban menghormati hak-hak penikmat puisi yang lain. Maka Arsyad Indradi menempuh jalan gila itu yang mungkin telah melenyapkan beberapa petak tanah, atau beberapa ekor sapi, atau dia menempuh jalan Ibrahim yang hendakmenyembelih Ismail.
Arsyad Indradi telah menyembelihnya, dan yang hilang berganti sesuatu yang lain. Demikianlah daur hidup. Nama Arsyad bukan Indradi yang dulu. Dia telah melakukan tindakan besar, melampaui kemampuan dirinya sebagai warga kota Banjarbaru yang sederhana.
Mungkin keluguannya telah membawanya kembali ke masa kanak-kanak, masa-masa manusia tak memperhitungkan risiko setiap permainan yang dilakukannya. Yang ada hanyalah fantasi, ulah kreatif, dan terus memainkan peran. Arsyad tampaknya menempuh jalan masa-masa belianya dulu. Mungkin inilah salah satu hal yang membuat murid-muridnya mencintai dan menghormatinya. Mungkin ini pula yang membuatnya terus bergairah menularkan keterampilan tari dan puisinya kepada tunas-tunas muda sastra di kotanya.
Pesan pendeknya beberapa bulan silam tampaknya menyiratkan kegeraman terhadap stagnasi sastra di kotanya. Lembaga-lembaga formal kesenian baginya semakin tampak jadi umbul-umbul di pinggir jalan. “ Aku mau jalan sendiri sekarang !” salah satu katanya dalam pesan itu.
Tapi dia tak bisa jalan sendiri. Sastra di mana-mana bukan karya individual. Sastra perlu media, pembaca, dan pihak-pihak lain yang terlibat tanpa sengaja. Lebih tepatnya, mungkin, dia mau mencari teman baru yang bisa terus mengajaknya bermain dengan gembira di lingkaran sastra yang dibayangkannya. Dia mungkin tak perlu penghargaan bintang mahakarya dalam sastra karena dia telah membayangkan dirinya sebagai Si Gila.Bukankah penghargaan semacam itu hanya layak untuk mereka yang waras ? Namun, bukankah waras juga persoalan rumit yang belum tuntas ?
Ah, Arsyad Indradi telah melakukan sesuatu yang mengajarkan tentang pentingnya kerjasama kesastraan. Dengan demikian dia tak sendiri. Dia meninggalkan sebagian kawan lamanya yang nakal untuk merangkul kawan baru dari penjuru nusantara.
Sepanjang masa penerbitan antologi itu dibaca, yang akan terus disebut adalah namanya dan kotanya.
Baginya, harga diri itu jangan ditunggu untuk dianugrahkan orang lain kepada dirinya. Ia harus direbut. Setelah perebutan itu, dia merasa biasa-biasa saja, tak ada yang lebih dan kurang. Penuh kejutan. Dia meletakkan sesuatu yang paling dalam kesadaran yang tak penting. Demikianlah logika orang gila pada umumnya, dan bukan hanya dia ternyata.
Dia kemudian menjelma laksana orang tua yang menyayangi anak-anaknya. Anak-anak sastra dan puisi. Dia tanam pohon untuk mereka, pohon yang buahnya tak akan sempat dia nikmati, sebab pohon itu perlu perawatan penuh kesabaran dan kesungguhan. ***

Dimuat di : Radar Banjarmasin, Cakrawala Sastra & Budaya Minggu , 9 September 2007




Jumat, 11 November 2011

MONOLOG ANDI SAHLUDIN ANGKAT KERUSAKAN ALAM KALSEL

Oleh: HE. Benyamine

Pentas pamit Kelompok Halilintar dalam rangka mengikuti Liga Monolog Indonesia (LMI) di Bandung 2011 di Gedung Balairung Sari Tama Budaya Kalimantan Selatan, pada Jum’at sore (16.00 Wita), 4 November 2011, dengan mementaskan monolog “2000 + 25 = S.O.S!” karya YS. Agus Suseno mampu menghadirkan suasana yang mencekam dan sekaligus mengingatkan tentang kerusakan alam yang tidak hanya sekedar berita-berita, atau sebagian penonton yang hadir tidak merasakan secara langsung dari kerusakan alam yang sedang berlangsung di Kalimantan Selatan dan wilayah lainnya karena akibatnya tidak begitu langsung terjadi dan langsung dihadapi, tetapi sebagiannya perlahan-lahan dan dalam bentuk lain. Namun, sangat kontras dengan mereka yang langsung berhadapan dengan penggusuran tanah, hutan-hutan yang menjadi bagian hidupnya dibabat dengan kerakusan yang sangat, dan tercerabutnya dari budaya. Pementasan yang berdurasi sekitar 20 menit (tanpa setting panggung) ini disutradrai oleh Andi Sahludin (AS) yang sekaligus berperan sebagai aktor.

Dengan pembuka yang apik dan mimik yang menunjukkan ekspresi kemarahan, AS mengawali kemampuannya dalam hal vocal, ada kekuatan dan kegeraman dengan menumpahkan ganjalan batin dan lahir sebagai seorang tokoh dalam pentas: “Dalam suram mencekam, meruapkan “bau kematian”. Ia datang, ia datang …. Tertatih, mempertahankan martabat. Mempertahankan kedaulatan. Ia harus bicara, memang harus bicara. Bukan kepada manusia, sebab manusia tidak dapat dipercaya. Ia hanya bicara pada Ning Diwata, kepada serunai bambu dan gendang yang tak lagi bertalu, kepada gong dan giring-giring yang tak lagi berpadu. Juga lalaya dan lilihi yang tak lagi ada. Ia berharap arwah data-datu, yang kuburannya tergurus mendengar .... “ Ada suasana magis yang menyeruak ke dalam gedung pertunjukkan; seakan penonton dibawa AS untuk masuk pada imajinasi magis bersama Ning Diwata, serunai bambu, gendang, giring-giring, lalaya, dan lilihi.

Setelah menghadir suasana magis yang cukup berhasil, ditunjang setting panggung yang baik, meski kurang diperkuat tata lampu dalam permainan cahaya, dan musik yang agak lemah, AS mulai mesuk pada plot yang datar; kehidupan tenteram meski hasil panen tak melimpah, kehadiran pendatang dengan alat berat, mulai ada benturan atas pandangan terhadap hutan, krisis terjadi dengan benturan dan perlawanan, dan yang akhirnya ketidakberdayaan warga masyarakat penghuni hutan. Dengan gestur dan gait yang masih ada ketidakstabilan, konsisten dalam pilihan gerak, dapat ditutupi oleh mimik yang dapat dikatakan stabil hingga akhir. Keletihan sepertinya tidak dapat disembunyikan AS dalam pementasan kali ini.

Alur cerita berjalan begitu terkendali dengan bloking yang baik. Perpindahan AS mendapat dukungan dari setting panggung yang baik, sehingga suasana yang magis dapat dipertahankan. Dalam hal bloking sebenarnya dapat diberi kekuatan yang lebih dengan tata lampu dan music yang lebih padu, dan memperkuat ide cerita, dan suasana sebagai gambaran adanya SOS yang hadir dalam benak para penonton. Hal ini masih perlu diperhatikan, karena masih banyak peluang untuk memanfaatkan berbagai perlengkapan yang mendukung yang sebenarnya tersedia.

Sebagaimana alur cerita yang menggambarkan “kemarahan” dari alam arwah atas kerusakan alam yang terjadi, sehingga datang kutukan dalam bentuk bencana, AS cukup mampu menghentikan sesaat detak jantung penonton, seakan penonton digiring dalam langsung hadir dalam suasana tersebut. Namun demikian, suasana magis terasa berkurang, dan lebih pada suasana SOS yang sifatnya sesaat, karena magis yang berkurang tersebut membuat kesadaran penonton lebih disentuh dibandingkan perasaannya.

Di samping itu, artikulasi AS dalam pementasan kali ini, ada bebarapa bagian yang tidak begitu jelas, sehingga cukup mengganggu dalam menggiring penonton untuk tetap dalam suasana magis dan SOS. Apalagi ada beberapa pilihan kata yang kurang tepat, seperti untuk menggambarkan bencana; banjir datang, kemarau datang. “Kemarau datang” sebagai padanan kekeringan panjang sebagai lawan banjir, jelas tidak tepat dan cukup vatal dalam pengetahuan tentang bencana. Karena, yang namanya kemarau suatu keniscayaan pada musim di Indonesia, ada atau tidak adanya bencana, kemarau akan datang sebagai pergantian musim hujan, dan sebaliknya. Begitu juga dengan “bola” yang diangkat actor yang masih perlu adegan yang menunjukkan sebagai sesuatu yang penting dalam pementasan ini, karena “bola” seperti sesuatu yang asing.

Pada akhir pementasan, sempat terbayang ending yang mengejutkan berdasarkan: “berharap arwah data-datu, yang kuburannya tergurus mendengar ....”. Klimaks yang mungkin dapat dipertimbangkan dalam pementasan ini. Setelah berdiri di atas kuburan, pementasan berakhir dengan menghadirkan suasana hancurnya berantakan kuburan dengan diiringi mantra-mantra balian yang semakin lama semakin sayup terdengar dengan permainan tata cahaya dan tata music yang padu. Tapi, hal ini merupakan pilihan dan pandangan sutradara, karena berbagai alasan yang tidak dapat dilihat oleh penonton selain apa yang dipentaskan di panggung. Naskah ini juga pernah dipentaskan actor Yadi Muryadi, dengan warna magis yang begitu kental, dengan mengambil tokoh balian yang sangat magis, yang berharga untuk diperhatikan sebagai pembanding pilihan AS sebagai warga biasa (masih agak ragu?) sebagai tokoh dalam naskah yang sama.

Pentas pamet Teater Halilintas sore itu secara keseluruhan dapat dikatakan sukses. Meskipun dalam penampilannya ada keletihan dan beban berat yang tidak dapat disembunyikan, sehingga tentu saja mempengaruhi stamina, baik actor maupun kru pendukungnya. Ada sedikit yang mengganggu, jika prolog dianggap sebagai bagian penting dari pementasan, maka prolog dalam pementasan monolog 2000 + 25 = S.O.S! merupakan gangguan suasana yang cukup berarti, apalagi terlalu panjangnya ulasan tentang pengarang karya ini, terlebih lagi ada intonasi yang tinggi untuk institusi tertentu, dan dibawakan dengan warna vocal layaknya actor di panggung.

Pementasan monolog teater Halilintar sore itu menunjukkan hal yang membanggakan, yang sudah seharusnya mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Sukses untuk teater Kelompok Halilintar, mengejutkanlah terus dengan karya-karya lainnya.

Rabu, 29 Juni 2011

Kesastraan Kalsel Sebelum, Semasa dan Sesudah tahun 70-an

Oleh : Arsyad Indradi

Alhamdulillah aku masih menyimpan buku Data-Data Kesenian Daerah Kalsel yang berupa stensilan yang diterbitkan Depdikbud Kan.Wil Prov.Kalsel, Proyek Pusat Pengenbangan Kesenian Kalsel 1975/1976, karena pada tahun 90-an kantor ini terbakar, arsip Data Seni Budaya yang lainnya entahlah apakah dapat diselamatkan. Buku ini sangat penting untuk mengetahui perkembangan kesastraan Kalsel pada masa itu.

Tulisan ini khusus mengetengahkan data perkembangan kesastraan Kalsel merujuk pada buku Data-Data Kesenian Daerah Kalsel tersebut.

Perkembangan kesastraan Kalsel tentu saja tidak terlepas dari perkembangan kesastraan Indonesia, karena sastrawannya ikut memberikan andilnya bagi perkembangan kesastraan Indonesia. Ini tampak dalam periode - periode perkembangannya dari masing- masing periode tersebut. Periode – periode tersebut adalah :
1. Periode Sebelum Perang
2. Periode Pendudukan Jepang / Revolusi Fisik
3. Periode Tahun 50-an
4. Periode Tahun 60-an
5. Periode Tahun 70-an

1. Periode Sebelum Perang

Pada periode ini yang paling menonjol adalah Merayu Sukma ( nama aslinya : Muhammad Sulaiman ). Ada beberapa bukunya yaitu :
Putra Mahkota Yang Terbuang ( roman sejarah ), Yurni Yusri ( roman detektif ), Kunang-Kunang Kuning ( roman detektif ), Sinar Memecah Rahasia ( roman detektif ), Berlindung dibalik Tabir ( roman ), Jiwa yang Disiksa Dosa (roman), dan Jurang Meminta Korban ( roman ). Hampir semua bukunya diterbitkan di Medan. Sayangnya buku-bukunya ini tidak dicetak ulang sehingga sulit didapat. Masa produktifitasnya terhenti ditahun 50-an sampai akhir hayatnya.

Penulis lainnya adalah Arthum Artha karyanya berupa cerpen banyak dimuat di majalah Terang Bulan (Surabaya). Selain cerpen ia menulis roman antara lain : Gadis Zaman Kartini ( Gemilang,1949,Kandangan), Tahanan Yang Hilang ( Pustaka Dirgahayu,1950, Balikpapan), Kepada Kekasihku Rokhayanah ( Mayang Mekar,1951,Banjarmasin). Puisi-puisinya juga bertebaran di majalah Mimbar Indonesia, Siasat/Gelanggang, Indonesia, Pelopor, Mutiara, Zenith,Gajahmada dan lain-lain.

Pada periode ini muncul Maseri Matali (Kandangan) dan puncak karyanya menjelang akhir revolusi fisik sampai tahun 1952. Ia satu-satunya Penyair Kalsel yang disoroti kritikus HB Yassin. Puisi-puisinya umumnya dimuat di Mimbar Indonesia, Pancawarna, Waktu dan Bakhti. Ia dianggap penyair yang kuat pada zamannya. Ia tidak sempat menerbitkan semua karyanya dalam satu antologi. Tetapi setahun setelah ia wafat (1969), sebanyak 15 puisinya dibukukan oleh D.Zauhidhie dkk. dalam judul “ Nyala “ (stensilan).
Muncul di periode ini seperti, M.Yusuf Aziddin, Mugeni Jafri, Haspan Hadna. Karya-karya mereka hampir tak pernah dibaca oleh generasi berikutnya karena di samping tidak banyak juga tidak pernah dibukukan.

2. Periode Pendudukan Jepang / Revolusi Fisik

Disamping sastrawan terdahulu masih berkarya, diperode ini muncul sederetan nama antara lain, Aliansyah Luji ( penyair,prosais, Banjarmasin), Zafri Zamzam ( penyair, Banjarmasin ), H.Ahmad Basuni ( cerpenis, Banjarmasin ), SM Darul ( penyair, Kandangan ), Masdan Rozhani ( penyair, cerpenis, Kandangan ), Asycor Z (Asyikin Noor Zuhri, penyair, Jakarta ).

Yang paling produktif pada periode ini, menjelang dan sesudah tahun 50-an adalah Alinsyah Luji. Banyak puisinya di majalah Mimbar Indonesia, Siasat/Gelanggang, Mutiara dan lain-lain. Romannya antara lain, Memperebutkan Mawar di Candi Agung ( Getaran Masyarakat,1955,Banjarmasin), Intan Berlumur Darah ( Fa.Widya,1956, Bandung ) dalam dua jilid.

Puisi – puisi Asycor Z (Asyikin Noor Zuhri) dan SM Darul dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia menjelang dan sesudah tahun 50-an.

3. Periode Tahun 50-an

Semarak dalam berkarya pada periode ini setelah bermunculan sastrawan-sastrawan muda. Hal ini karena sarana – sarana penerbitan sangat menunjang seperti Mimbar Indonesia, Indonesia, Siasat/Gelanggang, Budaya, Konfrontasi, Merdeka/Genta, Kisah,Roman, Basis, Media, Gajahmada, serta surat kabar baik di Jakarta mau pun di Kalsel sendiri.

Umumnya sastrawan muda tersebut adalah penyair dengan sederetan nama seperti Ramtha Martha nama aslinya Rahmad Marlin ( Martapura ), Darmansyah Zauhidie (Kandangan ), Hijaz Yamani ( Banjarmasin ), Azn.Ariffin ( Banjarmasin ), Yiustan Aziddin ( Banjarmasin ), Dachri Oskandar ( Banjarmasin ), Syamsul Suhud ( Banjarmasin ), Mugeni HM ( Banjarmasin ), Taufiqurrahman ( Banjarmasin ), Syamsul Bachriar AA ( Jakarta ), Abdul Kadir Ahmad ( Banjarmasin ), Syamsiar Seman ( Barabai ), Salim Fachry ( Kandangan ), Ardiansyah M ( Banjarmasin ), Gapfuri Arsyad ( Banjarmasin ), Rustam Effendi Karel ( Banjarmasin ), Korsen Salman ( Banjarmasin ), Imran Mansur ( Banjarmasin ), Gumberan Saleh ( Banjarmasin ), Adham Burhan ( Banjarmasin ), dan Sir Rosihan ( Sayarkawi, Banjarmasin).

Disamping penyair juga cerpenis seperti, Hijaz Yamani, Syamsiar Seman, Adham Burhan, Ramtha Martha dan Yustan Aziddin. Sedang Gumberan Saleh juga menulis novel. Sebelum menulis puisi Yustan Aziddin lebih dulu menulis cerpen untuk “cerita minggu pagi"pada RRI Banjarmasin dan juga sandiwara radio. Pada tahun 50-an Ramtha Martha khusus menulis cerpen yang dimuat di “Mimbar Indonesia” dan “Kisah”.

Banyak penulis pada periode ini yang lahir dan tumbuh namun tidak bisa bertahan dan berhenti sama sekali sampai pada periode berikutnya, kecuali beberapa orang seperti D.Zauhidhie, Hijaz Yamani, Ramtha Martha dan Salim Fachry. Sedangkan Yutan Aziddin dan Adham Burhan lama istirahat kemudian berkarya lagi ditahun 70-an. Yustan Aziddin, Adham Burhan dan Hijaz Yamani ikut dalam 19 penyair Banjarmasin ( Panorama,1974, DKD Kalsel ).

Banyak penulis pada periode ini tidak sempat membukukan sendiri hasil karya mereka, kecuali D,Zauhidhie ( Imajinasi ) dan Syamsiar Seman ( Bingkisan Pagi ) dan Gumberan Saleh novelnya ( Affair di Tanjung Silat ).

Syamsiar Seman lebih produktif lagi sampai tahun 2000-an dengan beberapa buah buku baik berupa pantun Banjar, cerita rakyat, Peribahasa Banjar, dan adat istiadat Banjar yang diterbitkan oleh penerbit lokal. Buku-bukunya menjadi bahan ajaran mata pelajaran muatan lokal di sekolah.

Pada tahun 1963 terbit kumpulan puisi “ Perkenalan di dalam Sajak” diterbitkan oleh CV.Himmah Banjarmasin yang diprakarsai oleh Yustan Aziddin dan Syamsul Suhud.
Penyairnya yang tergabung menurut wilayah geografis dan kurun kepenyairannya . Ini merupakan antologi penyair-penyair Kalimantan baik periode pendudukan Jepang/revolusi fisik, 50-an, dan 60-an, serta penyair Kalbar,Kalteng dan Kaltim.

4. Periode Tahun 60-an

Pada periode ini tidak banyak muncul sastrawan baru. Yang muncul seperti, A.Shafwani Ibahy ( Banjarmasin ), Mh.Hadhariah Roch ( Banjarmasin ), Murjani Bawy ( Banjarmasin ), Andi Amrullah (Banjarmasin ). Mereka semua penyair. Mereka tidak sempat membukukan karyanya sendiri kecuali dalam Perkenalan di dalam Sajak. Mh Hadhariah Roch ikut dalam Panorama. Sedangkan Andi Amrullah ketika masih studi di Malang bersama penyair-penyair Jawa Timur dalam kumpulan Laut Pasang ( Pemda Kotapraja Surabaya,1963 ). Kemudian ia menerbitkan sendiri antologi puisinya Demi Buah Tin dan Zaitun (1974).

5. Periode Tahun 70-an

Pada periode ini, sangat terasa hiruk pikuknya kesastraan Kalsel karena bertumbuhannya sastrawan baru dengan ramainya penciptaan sastra terutama puisi. Umumnya karya mereka termuat di harian surat kabar di Banjarmasin seperti bulanan kebudayaan “Bandarmasih” dan rubrik – rubrik “Persepektif” dari Banjarmasin Post, “Dian” pada “Media Masyarakat”, dan juga “Dinamika”, hanya Ayamuddin Tifani dan Eza Thabri Husano di majalah Mimbar dengan ruang budayanya “Matahari”.

Yang muncul pada periode ini : Ayamuddin Tifani ( Banjamasin ), Arsyad Indradi ( Banjarmasin ), Eza Thabri Husano ( Banjarbaru ),Ismed M.Muning nama aslinya Ismail Effendi ( Banjarmasin ), Hamami Adaby ( Banjarbaru ), Ibramsyah Barbary ( Banjarmasin ), A.Rasidi Umar ( Banjarmasin ), Sabri Hermantedo ( Banjarmasin ), Backtiar Sanderta ( Banjarmasin ), Ajim Ariyadi ( Banjarmasin ), Swastinah MD ( Banjarmasin ), Ulie S.Sebastian ( Banjarmasin ), A.Ruslan Barkahi ( Negara ), Arifin Hamdie ( Banjarmasin ), A.Mujahiddin S ( Banjarmasin ), S.Surya ( Banjarmasin ), Ibrahim Yatie ( Banjarmasin ), A.Rachman ( Banjarmasin ), M.Armin Azhardhie ( Banjarmasin ), Johan Kalayan ( Banjarmasin ), Abdul Karim Amar ( Banjarmasin ), Abdussamad SA ( Negara ),

Kemudian sederetan nama tersebut di atas, menyusul nama-nama seperti, Nayan Muhamad (Yan Pieter AK,Banjarmasin ), Hamberan Syahbana ( Hamberan Basuwinda, Banjarmasin ), Haderawi Yose ( Banjarmasin ), A’ans Anjar Asmara ( Banjarmasin ), Annie Mienty ( Banjarmasin ), Masry A.Gani ( Pagatan/Kotabaru), Amiddin B.Fuad ( Pleihari ), Amansyah Noor ( Negara ), Suriansyah Ramli ( Banjarbaru ), A.Chair Karim ( Banjarbaru ), RA Benawa ( Banjarbaru ), T.Noor Is. Amendy ( Banjarbaru ), Hanna ( Banjarbaru ), Muhammad Rais Salam ( Banjarbaru ), Akhmad Fajeri Astanti ( Banjarbaru ), A.Syahrani Hasyim ( Banjarbaru ), M.Hasfiany Sahasby ( Banjarbaru ), Roek Syamsuri ( Banjarbaru ), Ada sebelas penyair Banjarbaru termasuk Eza Thabri Husano dan Hamami Adaby menghimpun puisinya dalam antologi Puisi Banjarbaru Kotaku yang diterbitkan oleh DKD Banjarbaru.

Penyair - penyair Amuntai HSU juga menghimpun puisinya dalam sebuah antologi puisi Antologi Sajak 10 Penyair Hulu Sungai Utara diterbitkan oleh DKD HSU, yang tergabung di dalamnya yaitu Yusni Antemas, Rosdiansyah Habib, Darmawinata, Amir Husaini Zamzam, Rachman Rosdhy, Alfisamadhi, Asmuri Aman, M.Umairan Baqir, dan Amir Hasan Arsya.

Mereka yang tergolong dalam periode ini disamping aktif menulis puisi juga aktif menulis naskah Drama seperti Ajim Ariyadi, Hamberan Syahbana ( Drama dan cerpen ), Backtiar Sanderta ( teater Tradisional dan cerpen), Ismed M.Muning (teater tradisional) dan Swastinah MD menulis cerpen.

Sesudah tahun 70-an yakni kurun waktu tahun 80-an, tahun 90-an dan sampai pada tahun 2000-an, sastrawan yang tergolong periode 70-an ini kreatifitas penulisannya mulai menurun bahkan ada yang berhenti sama sekali, masa istirahat, dan ada yang meninggal dunia. Sayangnya mereka baik yang berhenti, masa istirahat mau pun yang meninggal dunia tidak sempat membukukan karya-karyanya antara lain, Ayamudin Tifani setelah meninggal dunia ( 23.09.1951- 06.05.2002 )baru sastrawan lain mencari dan mengumpulkan karyanya yang berserakan disana-sini, kemudian menghimpunnya dalam sebuah antologi puisi Tanah Perjanjian ( Hasta Mitra bekerjasama dengan Yayasan Bengkel Seni’78 Jakarta,2005 ).

Kemudian yang tergolong periode tahun 70-an yang eksis berkarya sampai tahun 2000-an antara lain, Arsyad Indradi, Hamami Adaby dan Eza Thabri Husano. Hamami Adaby ada beberapa karya puisinya yang dibukukan berupa antologi puisi tunggalnya : Desah (84), Iqra (97), Nyanyian Seribu Sungai (2001), Kesumba (2002), Bunga Angin (2003), Dermaga Cinta (2004), Kaduluran ( Puisi Bahasa Banjar,2006). Dan karya bersama antara lain : Banjarbaru Kotaku (74), Dawat (82), Bunga Api (94), Bahalap (95), Pelabuhan (96), Jembatan Asap ( 97), Bentang Bianglala (98),Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja ( Arsyad Indradi,Eza Thabri Husano,Hamami Adaby,2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bula Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja ( Bhs Banjar,2004),Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005),Garunum (2006). Menerima Penghargaan Seniman Sastra dari Walikota Banjarbaru (2004).

Eza Thabri Husano ada beberapa karya puisinya yang dibukukan berupa antologi puisi tunggalnya : Rakit Bambu (1984), Surat Dari Langit ( 1985), Clurit Dusun (1993), Aerobik Tidur (1996). Dan karya bersama antara lain : Banjarbaru Kotaku (74), Dawat (82), Bunga Api (94), Getar (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim (1995), Getar II (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim, 1996), Bangkit III (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim,1996), Bentang Bianglala (98),Datang Dari Masa Depan (1999), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir 2000), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja ( Arsyad Indradi,Eza Thabri Husano,Hamami Adaby,2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Sajadah Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja ( Bhs Banjar,2004),Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005). Menerima Penghargaan Seni Bidang Sastra dari Gubernur Provensi Kalsel,1996 dan Penghargaan dari Walikota Banjarbaru bidang Sastra, 2004.

Arsyad Indradi baru dapat menghimpun karya puisinya dalam bentuk antologi puisi tunggalnya : Nyanyian Seribu Burung ( KSSB, 2006 ),
Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan Bahasa Indonesia “Kalalatu “ ( KSSB, 2006 ), Romansa Setangkai Bunga ( KSSB, 2006 ), Narasi Musafir Gila ( KSSB, 2006 ), Anggur Duka ( KSSB,2009), Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan Bahasa Indonesia “Burinik” (KSSB,2009), Kumpulan Esai dan Artikel dari beberapa sastrawan Indonesia dengan tajuk : Risalah Penyair Gila (KSSB,2009)
Antologi Puisi bersama antara lain :
Jejak Berlari ( Sanggar Budaya, 1970 ), Edisi Puisi Bandarmasih, 1972, Panorana ( Bandarmasih, 1972), Tamu Malam ( Dewan Kesenian Kalsel, 1992), Jendela Tanah Air ( Taman Budaya /DK Kalsel, 1995), Rumah Hutan Pinus ( Kilang Sastra, 1996),Gerbang Pemukiman ( Kilang Sastra, 1997 ), Bentang Bianglala ( Kilang Sastra,1998), Cakrawala ( Kilang Sastra, 2000 ), Bahana ( Kilang Sastra, 2001 ), TigaKutub Senja ( Kilang Sastra, 2001 ), Bulan Ditelan Kutu ( Kilang Sastra, 2004 ),Bumi Menggerutu ( Kilang Sastra, 2004 ), Baturai Sanja ( Kilang Sastra, 2004 ),Anak Jaman ( KSSB, 2004 ), Dimensi ( KSSB, 2005 ), Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010). Pada tahun 2006 menghimpun puisi dari Penyair Se Nusantara dalam antologi Puisi Penyair Nusantara : “ 142 Penyair Menuju Bulan (KSSB,2006).
Anugrah yang pernah diterima bidang :
Tari dari Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada Pesta Gendang Nusantara VII Malaysia (2004), Tari dari Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada Pesta Gendang Nusantara XII Malaysia (2009),
Tari dari Walikota Banjarbaru (2004), Pengawas Seni Budaya Berprestasi I Kabupaten Banjar dan Provinsi Kalimantan Selatan (2009),. Sastra dari Walikota Banjarbaru (2010) dan Sastra dari Gubernur Prov.Kalsel (2010)

Hamberan Syahbana dan Ibramsyah Barbary lama tidak muncul, pada tahun 2008 mereka kembali menulis dan aktif mengikuti kegiatan sastra di Kalsel. Hamberan Syahbana sudah beberapa cerpen ditulisnya, disamping menulis esai dan artikel kesastraan dan juga puisi, sedang Iberamsyah Barbary menghimpun puisinya yang ditulisnya dari tahun 1963 – 2011 dalam antologi puisinya Perjalanan ke Istana Putih. Hamberan Syahbana menerima penghargaan bidang teater oleh Gubernur Provinsi Kalsel,2010.
Demikianlah periodesasi Perkembangan Kesastraan Kalimantan Selatan walau secara singkat namun inilah sebagai perspektif perjalanan Kesastraan Kalimantan Selatan yang hidup dan berkembang dari masa kemasa.

Banjarbaru, 25 Juni 2011

Selasa, 14 Juni 2011

LOMBA CIPTA PUISI,MENULIS CERPEN, CERITA RAKYAT DAN PAGELARAN SASTRA

Dalam rangka Arus Sastra ke-8 Kalimantan Selatan di Barabai HST, tgl 16 – 19 September 2011 dengan Tema “ Menebar Benih Sastra di Banua Murakata”, Panitia Penyelenggara membuka kesempatan bagi penulis yang berdomisili di wilayah Kalimantan Selatan untuk mengikuti beberapa lomba yaitu :
1) Lomba cipta puisi bahasa Indonesia, tema bebas.
2) Lomba menulis cerpen bahasa Indonesia, tema bebes.
3) Lomba menulis cerita rakyat berkisar cerita rakyat yang ada di daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Masing-masing mata lomba, peserta boleh mengirimkan maksimal 3 (tiga) karyanya yang ditulis tahun 2010/2011 + biodata singkat + foto,asli tidak saduran/jiplakan,belum pernah dipublikasikan di media cetak/internet atau sedang diikutkan pada lomba yang lain.
Untuk lomba puisi, panjang puisi maksimal dua kwarto dan untuk lomba cerpen dan kisah rakyat 4-7 kwarto, font 12 times new roman diketik satu setengah spasi.
Naskah masing-masing lomba sebanyak 4(empat) rangkap dimasukkan ke dalam amplop, di sudut kanan atas amplop ditulis jenis lomba yang diikuti dan sudah masuk ke panitia melalui post atau diantar sendiri dengan alamat DISBUDPARPORA Kabupaten HST di Barabai Jl.H.Abdul Muis Redhani Kelurahan Barabari Timur Kec.Barabai Kab.HST atau kirim ke email fahmi.wahid64@yahoo.co.id selambatnya 30 Juli 2011
Hadiah-hadiah sbb :
1) Lomba cipta puisi dan menulis cerpen bahasa Indonesia :
Pemenang I,II,III dan Harapan I,II,III dari masing-masing mata lomba akan mendapat hadiah tropy dan uang pembinaan.( Rp 2.000.000, Rp 1.500.000, Rp 1.000.000, Rp 750.000. Rp 500.000, Rp 400.000 )
2) Lomba menulis cerita rakyat :
Pemenang I,II,III dan harapan I,II,III akan mendapat hadiah tropy dan uang pembinaan ( Rp 1.500.000, Rp 1.000.000, Rp 750.000, Rp 600.000, Rp 500.000, Rp 400.000 )
Pemenang I sampai harapan III dan yang dipilih masing-masing mata lomba akan di antologikan.
4. Khusus lomba Pagelaran Sastra :
Setiap Kabupaten/Kota dapat mengirimkan satu kelompok maksimal anggotanya 12 (dua belas orang) yang teridiri dari pemain,pemusik dan krew.
Yang dipergelarkan memilih salah satu cerpen yaitu :
a. Bunglon karya Anton Cekov
b. Lurik karya Hasan Al Banna
c. Lukisan Angsa karya Fakhrunas MA Jabbar
d. Buaya Putih karya Ajamudin Tifani
e. Sanja Kuning karya Sandi Firly
Durasi penampilan maksimal 15 menit.( diluar pengaturan setting )
Hadiah : Pemenang I,II,III dan Harapan I,II,III akam mendapat hadiah tropy dan uang pembinaan masing – masing Rp 5.000.000, Rp 4.500.000, Rp 4.000.000, Rp 3.500.000, Rp 3.000.000, Rp 2.500.000,-
Disamping lomba Panitia juga mengharapkan partisifasi penyair yang berdomisi di wilayah Kalsel untuk mengirimkan karya puisinya sebanyak 3 (tiga) puisi + bioadata singkat + foto yang akan diterbitkan dalam sebuah antologi puisi. Karya puisi dimasukan dalam amplop dan di sudut kanan atas amplop ditulis Antologi Puisi dikirim melelui post atau diantar sendiri dengan alamat DISBUDPARPORA Kab.HST di Barabai Jl.H.Abdul Muis Redhani Kelurahan Barabari Timur Kec.Barabai Kab.HST atau kirim ke email fahmi.wahid64@yahoo.co.id selambatnya 30 Juli 2011
Yang belum jelas silakan kontak person 081351128514 / 081348120891

Salam Sastra
Panitia Aruh Sastra ke-8 Kalsel di Barabai HST

Selasa, 19 April 2011

MEMELIHARA EKOLOGI SASTRA

Oleh : Dimas Arika Mihardja

Rumah tangga sastra Indonesia yang dihuni oleh sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, dan masyarakat pembaca memberikan gambaran adanya keberagaman. Keberagaman itu terwujud baik pada tataran capaian estetis, kreativitas, persepsi, visi, dan misi. Keberagaman itu merupakan aset yang tiada terkira nilainya jika dihubungkan dengan “Bhineka Tunggal Ika”. Keberagaman itu dalam konteks keindonesiaan perlu mendapatkan ruang ekspresi seluas-luasnya untuk capaian estetis sastra Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang.
Pada satu masa, sejumlah besar sastrawan menampilkan karya-karya yang sarat dengan subkultur, dengan akar budaya, warna budaya daerah masing-masing. Berbagai kultur lokal dan tradisi digali, diolah dan dijadikan dasar untuk pengucapan karya-karya mereka.

Karya sastra yang dihasilkan sastrawan yang mengedepankan warna-warni budaya lokal ini memberi kontribusi positif dalam sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia. Atas dasar keberagaman budaya daerah, dalam perspektif sejarah sastra Indonesia pernah dihasilkan karya-karya masterpeace seperti “Ronggeng Dukuh Paruk” (Novel Ahmad Tohari), “Pengakuan Pariyem” (Prosa Lirik Linus Suryadi AG), “Celurit Emas” (D. Zawawi Imron), “Bawuk” (Umar Kayam), “O, Amuk, Kapak” (antologi puisi Sutardji Calzoum Bachri), “Godlob”, “Adam Makrifat”, dan “Berhala” (Kumpulan cerpen Danarto), “Robohnya Surau Kami” dan “Bertanya Kerbau pada Pedati” (Kumpulan cerpen A.A. Navis), “Bako” (novel Darman Moenir), dan seterusnya . Karya-karya yang digali dari kekayaan budaya lokal seperti itu akhir-akhir ini mengalami pasang surut.

Keberagaman corak budaya daerah perlu diberikan ruang yang leluasa untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur yang ada di Indonesia akan memberikan rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (“Bhineka Tunggal Ika”). Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi.

Dalam perkembangan sastra pernah muncul humanisme universal, sastra kontekstual, sastra (dominasi) pusat (Jakarta), sastra pedalaman, sastra dekaden, sastra independen, sastra arus bawah dan seterusnya dan seterusnya. Hal ini wajar lantaran sastrawan memiliki progres, visi dan misi dalam berkarya. Hal yang tidak wajar apabila perbedaan pandangan/aliran/isme dll memunculkan konflik berkepanjangan. Humanissme universal seperti diteriakkan oleh Chairil Anwar berakibat hilangnya identitas kebangsaan. Setelah humanisme universal mulai memudar pamornya, tahun 1960-an meruak hubungan mesra antara sastra dan politik. Fungsi sastra dan fungsi politik acap dicampuradukkan sehingga terjadi kekacauan. Lalu muncul tawaran sastra kontekstual (sastra terlibat) yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Kemunculan sastra kontekstual ini menomorduakan aspek keindahan dalam ciptaan sehingga pada akhirnya kehilangan gaungnya. Tahun 1990-an muncul tawaran sastra pedalaman dalam denyut kehidupan sastra. Tawaran ini kurang mendapatkan respon dan lenyap begitu saja. Setelah itu muncul dekadensi dan independensi sastra, tetapi belum jelas benar seperti apa sosoknya.

Perkembangan karya sastra Indonesia, sepeninggal paus sastra H.B. Jassin, tidak diiringi oleh kinerja kritik sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau. Langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra membuat ekologi sastra tidak harmonis. Idealnya, kehidupan sastra menunjukkan ekologi sastra yang sehat, beragam, harmonis, dan dinamis. Karya sastra yang diterbitkan menjadi “yatim piatu” lantaran tidak tersentuh oleh kinerja kritik sastra. Akibatnya, karya sastra semakin jauh dari jangkauan masyarakat apresian. Kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi karya sastra juga rendah.

Akhir-akhir ini tumbuh secara bergairah penerbitan buku, yang sebagian besar secara indie. Penerbit-penerbit juga terus menerbitkan aneka genre sastra. Aneka penerbitan ini tentunya perlu disambut dengan gairah pula. Tradisi minat baca masyarakat hendaklah perlu pula selalu diagendakan sebagai semacam tradisi. Ekologi sastra yang dihuni oleh para kreator, pembaca umum, dan kritisi penting dijaga dan dipelihara. Dalam konteks ini hendaklah digelorakan gairah mencinta di antara kreator, apresiator, dan kritisi sehingga susastra Indonesia (susastra berbahasa Indonesia dan susastra di Indonesia--yang berbahasa daerah) akan cerah bergairah.

Demikian, gambaran global yang selalu menjadi agenda kerja siapapun yang memilih dunia sastra sebagai alternatif pilihan untuk menyempurnakan martabat kemanusiaan. Semoga, kita secara bersama-sama senantiasa bisa saling bahu menyangga, menjaga, dan memelihara ekologi sastra. Salam sastra.

Senin, 04 April 2011

Kurangnya Guru Mata Pelajaran Seni Budaya Sekolah Menengah Di Kalsel

Oleh : Arsyad Indradi

Salah satu acara pada Aruh Sastra VII se Kalsel di Tanjung Kab.Tabalong,26-28 Nov..2010 adalah seminar Seni Budaya Kalsel. Banyak tanggapan dan pertanyaan yang dilontarkan peserta seminar antara lain kurangnya guru Mata Pelajaran Seni Budaya sekolah menengah di Kalsel. Kepala Dinas Porkebpar Prov.Kasel, salah satu nara sumber, menjelaskan bahwa prioritas mata pelajaran ada tiga yakni Unggulan,sedang dan pilihan,”mungkin” pendidikan di Kalsel ini, mata pelajaran seni budaya masuk dalam urutan “pilihan”.

Ada pertanyaan yang sangat menarik peserta dari HSU, mengapa guru Mata Pelajaran Seni Budaya Jurusan Seni Tari dan Seni Teater diangkat dari (orang) Jawa ? Sehingga dia gelagapan mengajar karena seharusnya yang diajarkan adalah Seni Tari Daerah Banjar bukan “Tari Jawa”, bukan “Ketopra atau Ludruk” tapi Teater tradisional Kalsel seperti “Mamanda”, ini sesuai dengan Kurikulum yang berlaku sekarang. Tak masalah kalau guru putra daerah sekolah ke Jawa tapi telah dibekali Seni Tari Banjar dan Teater tradisional Banjar.
Kemudian juga salah satu nara sumber,Bapak H.Djantera Kawi menjawab pertanyaan peserta yang berkaitan minimnya pengangkatan guru mata pelajaran seni budaya dengan Perda Prov.Kalsel No.6 Thn.2009 tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah BAB IV pasal 6 ayat (1) a),b) dan c). Beliau menjelaskan (bernada curhat) bahwa Perda ini belum tersosialisasikan secara luas dan masih adanya otorisasi dari pemerintah daerah.
Mendengar paparan dari dua nara sumber di atas sungguh rasional dan dalam kenyataannya inilah nasib pendidikan di Kalsel. Sejak dulu sampai sekarang sekolah menengah di Kalsel sangat sedikit memiliki guru mata pelajaran seni budaya, sehingga mata pelajaran Seni Budaya banyak diberikan kepada guru yang bukan faknya. Jadi wajar jika guru tersebut sering mendapat kesulitan dalam mengajarkan materi Seni Budaya (Seni Musik, Seni Rupa,Seni Tari dan Seni Teater) apa lagi jarang sekali ada penataran, workshop atau pelatihan.. Dan ironisnya banyak sekolah yang berpandangan bahwa mata pelajaran seni budaya itu tidak penting, yang penting adalah mata pelajaran yang ada di Ujian Nasional.
Menilik formasi guru mata pelajaran untuk penerimaan CPNS pada tahun 2010 ini sangat sedikit sekali. Dari 13 Kabupaten/Kota di Kalsel hanya HSU; 4 formasi S1 Pend. Kesenian Jur.Seni Musik/S1 Kesenian Jur.Seni Musik dan A-IV, 2 formasi untuk S1 Pend.Jur.Seni Tari/S1 Kesenian Jur.Seni Tari dan A-IV. HSS; 8 formasi untuk S1 Pend.Seni, BJB;12 formasi untuk S1 Pend.Seni Kerajinan dan BJM ; 9 formasi untuk S1 Pend.Seni/S1 Seni dan A-IV (B.Post,6/11/2010).

Menanggapi berita Banjarmasin Post,23 Nov.2010 : 45 Formasi Tanpa Pelamar di Banjarbaru, antara lain formasi tanpa pelamar itu adalah guru kesenian SMP dan guru kesenian SMK. Saya ikut prihatin mungkin ini tidak ada koordinasi antara BKD Kota Banjarbaru dengan Dinas Pendidikan Kota Banjarbaru untuk menentukan formasi tersebut. Hemat saya bahwa Pendidikan Seni Kerajinan itu termasuk kurikulum 1994 yang lebih dikenal mata pelajatan KTK atau Kertakes (Kerjinan Tangan dan Kesenian), secara bertahap masih digunakan pada kurikulum 2004 (KBK) sampai batas terakhir tahun ajaran 2008/2009 ( dalam tahap uji coba Kurikulum KTSP). Pada tahun ajaran 2009/2010 dan seterusnya diberlakukan Kurikulum KTSP yang komponennya Mata Pelajaran Seni Budaya (Seni Musik, Seni Rupa, Seni Tari dan Seni Teater)
Kebijakan KTSP ini berlandaskan UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur KTSP, pasal 1,18,32, 35, 36 ,37,38 dan PPRI No.19 Tahun 2005 pasal 1,5,6,7,8,10,11,13,14,16,17,18 dan 20. Kebijakan Pengembangan Kurikulum ini berkaitan dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan dalam Permen 22, Permen 23 dan Permen 24.

Jadi inilah permasalahannya mengapa Kota Banjarbaru tanpa pelamar. Sesungguhnya bukan tanpa pelamar, banyak putra Banjarbaru ditolak lamarannya dengan alasan tidak sesuai dengan ”Pendidikan Seni Kerajinan”. Padahal mereka itu jauh-jauh sekolah ke Institut Seni Indonesia (ISI)Yogyakarta dan Surakarta ada yang jurusan S1 Seni Rupa dan ada jurusan S1 Seni Tari.+ A- IV.
Kedepannya diharapkan Pemerintah daerah (kabupaten/kota) selayaknya memperhatikan formasi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan kurikulum terbaru dalam menentukan penerimaan guru mata pelajaran. Dalam hal ini, untuk tingkat sekolah menengah, yang dibutuhkan adalah formasi guru mata pelajaran seni budaya.

Sesungguhnya Mata Pelajaran Seni Budaya itu sama pentingnya dengan pelajaran akademis, eksakta atau pelajaran lainnya bukan mata pelajaran ”pilihan”.. Sebab Pendidikan seni budaya di sekolah bertujuan agar siswa mendapatkan pengalaman baik dalam berkarya, menciptakan konsep karya, berestetika, membentuk karakter menjadi manusia yang berbudi luhur, memiliki apresiasi dan rasa seni di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, guru mata pelajaran seni budaya seharusnya adalah orang yang sesuai dengan jurusannya, dalam hal ini sarjana seni budaya (seni musik, seni tari, seni rupa, dan seni teater).***


Banjarbaru,26 Nop.2010