Kamis, 12 Januari 2012

KEHIDUPAN MENJADI SEMPURNA DENGAN SASTRA (Pengukuhan Komunitas Sastra (KSI) Batola)

Oleh: HE. Benyamine

Sastra mampu menggambarkan peristiwa dengan sempurna, menjadi sempurna, dan menyentuh diri secara sempurna. Melalui sastra, kehidupan ini lebih dapat dinikmati dengan menghadirkan pemaknaan yang mengarah pada penemuan hikmah pada setiap peristiwanya. Berbicara tentang sastra, begitulah bupati Kabupaten Barito Kuala, H. Hasanuddin Murad, SH., pada acara pengukuhan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Barito Kuala dan Pagelaran Sastra (26 Desember 2011: 20.00) di Panggung Terbuka yang menghadap sungai Barito.

Ungkapan bupati tersebut menunjukkan suatu pemahaman yang luar biasa atas sastra, meski beliau mengaku tidak begitu mengerti dengan sastra, yang memberikan harapan dan spirit pada pertumbuhan dan perkembangan sastra di Batola khususnya. Apa yang dikatakan bupati itu, mungkin dipengaruhi masa kecil beliau, yang memang hidup dengan kegembiraan sastra lisan sebagaimana masa kecil sebagian anak semasa beliau, karena masih sering terdengar senandung syair dan pantun juga bentuk sastra lisan lainnya.

Pada pengukuhan KSI Batola, yang dihadiri beberapa tokoh sastra dari Batola sendiri; Iberamsyah Amandit, H. Roeck Syamsuri Saberi (Ketua DKD Batola), Syarkian Noor Hadie, AA. Ajang, Maskuni, SPd (Ketua KSI Batola terpilih) dan lainnya, juga dari kota Banjarbaru seperti Hamami Adaby, Ali Syamsuddin Arsi, dan Iberamsyah Barbary, dan dari kota Banjarmasin seperti YS. Agus Suseno, Micky Hidayat, Syarifuddin R., dan Burhanuddin Soebely, sungguh terasa suatu perhelatan yang meriah dan menghibur. Dengan panggung sederhana, beberapa tampilan pagelaran sastra tampil memukau, yang seakan mengusik ketenangan arus sungai Barito yang sedang menahan beban pergerakan tongkang batubara yang juga merambat pelan-pelan.

Penampilan penari yang membuka pagelaran sastra membawa hadirin pada pengukuhan percikan keindahan yang terbentang di banua Barito Kuala, penari-penari yang mengalirkan kekuatan dengan cara kelembutan dan keindahan. Para penari mengerti bahwa Barito Kuala mempunyai kemampuan untuk berperan aktif dalam seni budaya, yang saat ini merupakan bagian dari 14 sektor ekonomi kreatif, dengan penampilan mereka yang bertenaga namun lembut.

Tampilan musikalisasi SMAN 1 Marabahan sungguh merasuk dan mengalun dengan lembut, dengan membawakan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, terutama saat vokal perempuan (maaf namanya tak tahu; suaramu merdu) menyenandungkan balada tersebut, ada suatu aliran yang tenang dan menjadikan puisi tersebut terasa indah dan terkuat pesannya.

Sedangkan tampilan dramatisasi SMAN 1 Marabahan, yang mengangkat cerpen Sandi Firly berjudul Senja Kuning Di Sungai Martapura, dengan kelemahan sound system sehingga dialognya banyak yang tidak terdengar, secara keseluruhan mampu menghadirkan pertunjukkan yang menarik dan menghibur dengan sesuai dengan cerpennya. Penafsiran yang dramatis dan ditunjang dengan pilihan properti yang baik, tentu saja apa yang mereka tampilkan merupakan harapan yang cerah bagi pertumbuhan dan perkembangan pagelaran sastra di Batola.

Penampilan pembacaan syair, pantun, dan puisi oleh Sanggar Seni MAN 1 Marabahan, juga mampu menunjukkan bahwa sastra lisan tersebut juga menarik untuk ditampilkan sebagai suatu hiburan. Begitu juga dengan seni tradisional Madihin, yang merupakan sastra lisan juga, yang ditampilkan mahasiswa Unlam asal Batola.

Pagelaran sastra yang mengiringi pengukuhan KSI Batola, merupakan suatu petunjuk dan seakan gayung bersambut dengan gagasan Kepala Pariwisatan, Dinas Pemuda dan Olah Raga untuk menyelenggarakan pagelaran seni budaya, termasuk sastra, di panggung terbuka sebulan sekali setiap malam Selasa yang bertepatan dengan Pasar Malam Batola. Gagasan ini merupakan suatu petunjuk bahwa pemerintah daerah menyadari pentingnya memberikan dan menyediakan panggung pertunjukkan seni budaya dalam upaya menghidupkan seni budaya tradisional yang sebenarnya masih menjadi bagian kehidupan warga masyarakat. Apalagi, panggung tersebut di samping rumah dinas bupati, yang memungkinkan bupati berhadir pada waktu tertentu untuk menikmati pertunjukkannya.

Kehadiran bupati Batola pada pengukuhan KSI Batola dan Pagelaran Sastra, dan beliau mengikuti acara hingga selesai yang berakhir pada tengah malam (24.00), menjadikan acara malam itu sebagai sesuatu yang spesial dan bermakna, apalagi kehadiran beliau bukan untuk melantik atau mengukuhkan pengurus terpilih, dan tidak seperti yang umum dalam hajatan sastra yang mana pejabat publiknya pulang setelah acara pembukaan atau setelah mengukuhkan atau melantik. Bupati Batola mengikuti acara pagelarannya terlihat menikmati, dengan rokok kretek yang terus mengepul, dan mungkin saja membayangkan bahwa pagelaran yang sedang beliau saksikan merupakan pertunjukkan yang layak untuk diselenggarakan secara kontinue dan lebih intens; pejabat publik juga butuh mengisi waktu luangnya dengan seni budaya.

Pada jelang tengah malam, para penyair hebat, tampil membacakan puisi, mereka adalah Iberamsyah Amandit dengan puisi beliau sendiri; Mamang Borneo, yang menghentak relung-relung hati penonton, bait terakhirnya, “Usir maling-maling itu, usir maling-maling itu/usir maling-maling itu” sebagai penutup yang menyergap jiwa untuk melawan perampokan tanah Borneo oleh keserakahan, lalu dilanjutkan Hamami Adaby dengan membawakan karya Hanna Fransisca, berikutnya Ali Syamsuddin Arsi si “Gumam” yang terlihat agak ringan dan santai namun tetap menyentak, lalu Mecky Hidayat dengan puisi adaptasi dari novel Rumah Debu, yang begitu kuat dan penuh daya dalam melihat kondisi pertambangan yang serakah dan tak berhati, dan ditutup oleh YS. Agus Suseno dengan syair tentang Batola dan harapannya ke depan dengan suara yang mengalun layaknya aliran sungai Barito; tenang dan damai.

Pembacaan puisi berlanjut dengan didaulatnya Bupati, Sekda, dan Kepala Dinas yang telah dipersiapkan beberapa puisi untuk mereka pilih sendiri. Bupati Batola ternyata memilih puisi dengan judul Petani karya Iberamsyah Amandit, itupun tebakan bupati karena dibuatnya di Tamban sebagai tempat tinggal penulisnya. Pilihan bupati atas puisi itu dijelaskan beliau karena sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Batola, dan peradaban awal saja dimulai dengan pertanian, yang merupakan suatu harapan dirinya untuk kemajuan Batola berbasis pertanian yang lebih maju, baik untuk petani sendiri maupun produk yang dihasilkannya. Di sini, bupati perlu mempertimbangkan kembali perluasan perkebunan sawit skala besar, karena akan berhadapan petani-petani dengan penghidupannya, tentu saja hal ini menjadi pemikiran beliau dalam hal sawit ini.

Sedangkan Sekda membacakan dengan penuh semangat, dan ternyata beliau dapat dikatakan sebagai pembaca puisi yang berbakat, ada kejutan yang menghentak dan menyentak kesadaran penonton. Begitu juga dengan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga yang dengan tenang menyelusup dengan suara beratnya. Mungkin, para pejabat publik seperti di atas perlu berhadir dan membacakan puisi, yang menjadi pelepasan beban pekerjaan dan tugasnya sebagai pejabat publik, selain tempat hiburan yang umum seperti karaoke atau lainnya.

Akhirnya, apa yang dikatakan Bupati dalam sambutannya di atas merupakan angin kebahagiaan bagi dunia sastra khususnya di Batola, apalagi beliau menambahkan bahwa melalui sastra membuat kritik lebih mudah diterima, sekeras apapun kritik itu, karena hal itu dilakukan oleh orang-orang yang penuh perenungan dan intelektual yang lurus. Apa yang disampaikan bupati merupakan suatu hal menarik untuk direnungkan bersama, karena sastra memang lebih sempurna dalam menggambarkan peristiwa dan keadaan, dan kritik dengan tulisan adalah peradaban yang maju.

(Media Kalimantan, 28 Desember 2011: C5)

Kegilaannya Arsyad Indradi

Oleh : Sainul Hermawan

ARSYAD INDRADI sudah setua provinsi ini. Di ulang tahunnya yang ke-57, dia mempersembahkan antologi puisi penyair nusantara 142 Penyair Menuju Bulan untuk dirinya sendiri dan juga mempersembahkannya untuk kota Banjarbaru, saat itu berulang tahun yang ke-7. Penyair yang konon tak pernah dikenal di jagat sastra nasional (setidaknya demikianlah pengakuannya sendiri pada suatu ketika), tiba-tiba membuat publik penyair di tanah air bertanya tentang siapa dirinya, saat dia mengundang mereka untuk mengirimkan puisi yang akan dihimpunnya dalam antologi itu. Antologi setebal 728 halaman yang dicetaknya sendiri, dengan biaya sendiri, diedarkan sendiri, secara gratis. Dalam kesederhanaan hidupnya, tindakan itu jelas nekad.
Karenanya sejumlah kawannya di daerah lain menjulukinya, sebagai penyair gila Bagaimana tidak gila, uang sedemikian banyak digunakan memproduksi artifak seni yang bukan kebutuhan pokok banyak orang. Gila karena dia, sebagai individu biasa,memainkan peran besar melebihi keinginan kota bahkan provinsi bahkan korporasi untuk mengapresiasi puisi.
Tetapi, kegilaan itu mungkin berada di atas kesadaran persoalan filosofisnya : Bukankah setiap hari banyak orang mengonsumsi dan memproduksi segala yang ada pada akhirnya jadi sampah juga ? Bukankah mereka ternyata memiliki kegilaan mereka sendiri-sendiri : gila hormat, gila jabatan, gila harta, gila-gilaan, gila tahta, gila wanita.
Kegilaannya sebenarnya adalah justru kewarasannya di tengah kegilaan yang lain. Betapa gilanya jika korporasi tak peduli pada puisi, pemerintah mencueki puisi, dan karenya masyarakat jadi menjauhi puisi. Seakan berpuisi tak punya peran bagi pencerdasan kehidupan bangsa. Sehatkah pemerintah yang tak mendukung kegiatan pencerdasan kehidupan bangsa ? Maka menggilai puisi ala Arsyad Indradi menjadi semacam terapi kejut bagi lembaga-lembaga resmi yang seharusnya lebih berani berbuat besar dari pada seorang Indradi yang sederhana dan kian senja. Karenanya, Setia Budhi dalam salah satu tulisannya menyebut apa yang dilakukan tetuha puisi di Banjarbaru ini sebagai perlawanan pada sesuatu yang konon berkuasa tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Arsyad Indradi telah mencatatkan dirinya dalam sejarah sastra Kalsel sebagai penyair paling nekad dan berani berkorban untuk puisi. Yang iri boleh dibilang dia cuma cari sensasi, tetapi sastra tak bisa dibangun dengan memupuk kedengkian di antara sesama pesastra. Dia telah membuat nusantara pada suatu masa berpikir tentang dan menoleh ke Banjarbaru karena ulahnya.
Dengan cara demikian, dia telah menunjukkan eksistensinya. Keberadaan baginya bukan semata kehadiran mengenang nama-nama besar atau mengenang masa kejayaan dirinya sebagai penyair. Keberadaan adalah menghadirkan gagasan dan pembuktian, menghancurkan keberadaan lama untuk mengadakan keberadaan baru, selalu dan selalu begitu.
Jika dalam antologi puisi itu sedikit sekali kita temukan puisi karya penyair Kalsel, konon mungkin idenya dianggap konyol dan mustahil. Dia membiarkan pesimisme itu. Sangat wajar, kalau kemudian kemampuan antologi ini menggaulkan penyair Kalsel dan lokal luar Kalsel bisa membuat sebagian penyair sebagai sesama di Kalsel merasa ditinggalkan oleh buku ini. Semacam perasaan sentimentil yang bisa dianggap kurang waras karena konon dia tak punya prerensi untuk menadah atau mengusir puisi orang-orang yang baru belajar jadi penyair.
Dengan cara demikian, Arsyad Indradi bukan saja menciptakan sejarah bagi dirinya, tetapi dia pun ingin meninggalkan jejak-jejak gagasan dan pelajaran bahwa mencintai puisi perlu bukti, mencintai puisi berarti membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin mencicipi pengalaman penciptaannya, dan mencintainya berarti menciptanya tanpa henti dan penuh inovasi, mencintainya berarti menyisakan ruang apresiasi dalam sanubari bagi puisi-puisi karya penyair lain. Saling menguatkan puisi yang dapat dilakukan oleh sesama penyair adalah cara lain untuk membesarkan puisi.
Menjaga kelestarian puisi perlu perhatian banyak pihak. Maka penyair juga punya kewajiban menghormati hak-hak penikmat puisi yang lain. Maka Arsyad Indradi menempuh jalan gila itu yang mungkin telah melenyapkan beberapa petak tanah, atau beberapa ekor sapi, atau dia menempuh jalan Ibrahim yang hendakmenyembelih Ismail.
Arsyad Indradi telah menyembelihnya, dan yang hilang berganti sesuatu yang lain. Demikianlah daur hidup. Nama Arsyad bukan Indradi yang dulu. Dia telah melakukan tindakan besar, melampaui kemampuan dirinya sebagai warga kota Banjarbaru yang sederhana.
Mungkin keluguannya telah membawanya kembali ke masa kanak-kanak, masa-masa manusia tak memperhitungkan risiko setiap permainan yang dilakukannya. Yang ada hanyalah fantasi, ulah kreatif, dan terus memainkan peran. Arsyad tampaknya menempuh jalan masa-masa belianya dulu. Mungkin inilah salah satu hal yang membuat murid-muridnya mencintai dan menghormatinya. Mungkin ini pula yang membuatnya terus bergairah menularkan keterampilan tari dan puisinya kepada tunas-tunas muda sastra di kotanya.
Pesan pendeknya beberapa bulan silam tampaknya menyiratkan kegeraman terhadap stagnasi sastra di kotanya. Lembaga-lembaga formal kesenian baginya semakin tampak jadi umbul-umbul di pinggir jalan. “ Aku mau jalan sendiri sekarang !” salah satu katanya dalam pesan itu.
Tapi dia tak bisa jalan sendiri. Sastra di mana-mana bukan karya individual. Sastra perlu media, pembaca, dan pihak-pihak lain yang terlibat tanpa sengaja. Lebih tepatnya, mungkin, dia mau mencari teman baru yang bisa terus mengajaknya bermain dengan gembira di lingkaran sastra yang dibayangkannya. Dia mungkin tak perlu penghargaan bintang mahakarya dalam sastra karena dia telah membayangkan dirinya sebagai Si Gila.Bukankah penghargaan semacam itu hanya layak untuk mereka yang waras ? Namun, bukankah waras juga persoalan rumit yang belum tuntas ?
Ah, Arsyad Indradi telah melakukan sesuatu yang mengajarkan tentang pentingnya kerjasama kesastraan. Dengan demikian dia tak sendiri. Dia meninggalkan sebagian kawan lamanya yang nakal untuk merangkul kawan baru dari penjuru nusantara.
Sepanjang masa penerbitan antologi itu dibaca, yang akan terus disebut adalah namanya dan kotanya.
Baginya, harga diri itu jangan ditunggu untuk dianugrahkan orang lain kepada dirinya. Ia harus direbut. Setelah perebutan itu, dia merasa biasa-biasa saja, tak ada yang lebih dan kurang. Penuh kejutan. Dia meletakkan sesuatu yang paling dalam kesadaran yang tak penting. Demikianlah logika orang gila pada umumnya, dan bukan hanya dia ternyata.
Dia kemudian menjelma laksana orang tua yang menyayangi anak-anaknya. Anak-anak sastra dan puisi. Dia tanam pohon untuk mereka, pohon yang buahnya tak akan sempat dia nikmati, sebab pohon itu perlu perawatan penuh kesabaran dan kesungguhan. ***

Dimuat di : Radar Banjarmasin, Cakrawala Sastra & Budaya Minggu , 9 September 2007